Terhitung sejak awal tahun 2020 ketika Indonesia mulai
merasakan dampak dari pandemi, seluruh lembaga pendidikan di Indonesia sudah
berkali-kali mencoba berbagai alternatif metode pembelajaran agar tetap dapat
terlaksana. Tentu saja semuanya didominasi pembelajaran jarak jauh (PJJ). Jam
belajar dari guru ke siswa dikurangi, materi pembelajaran dirampingkan, guru
mencoba menyampaikan materi yang berkaitan dengan life skills daripada
pengetahuan, dan upaya lainnya.
Di kondisi ini, lembaga pendidikan yang notabene seluruh
perencanaannya (bahkan hingga rencana pembelajaran) sudah dibuat jauh-jauh
hari, harus berubah total. Semuanya berusaha bekerja cepat untuk merespons
keadaan dan tidak mau hanya menunggu aba-aba dari pemerintah. Ya, tentu saja
karena wali murid hingga pengelola lembaga sudah kadung tak punya waktu tuk
menunggu. Pembelajaran harus berjalan setiap harinya.
Di tengah banyaknya masalah lembaga pendidikan yang dianggap
tidak serius dan main-main, tidak sedikit pula yang tetap berkomitmen untuk memersembahkan
pembelajaran optimal dan menyenangkan meski jarak jauh.
Guru-guru diajak belajar mengemas materi dengan media yang
menarik dan menyenangkan, pengelola lembaga memertimbangkan kemudahan akses
untuk wali murid dan peserta didik, hingga mengganti tugas yang biasanya berupa
soal menjadi proyek kegiatan menyenangkan yang dapat dilakukan di rumah.
Semua siasat tersebut tentu saja dapat terlaksana dengan
baik jika dibantu dan didukung oleh pihak yang ada dekat dengan siswa,
sekaligus pihak yang sesungguhnya punya peran utama dalam pendidikan anak.
Orang tua.
Hal ini tentu saja karena tidak semua sekolah punya kuasa
untuk melakukan home visit agar siswa bisa belajar langsung dengan guru,
sehingga sinergi bersama orang tua adalah kunci keberhasilan pembelajaran jarak
jauh.
Namun, ya, lagi-lagi kondisi memang tidak bisa dipukul rata.
Mulai banyak orang tua merasa keberatan. Bukan hanya keberatan dengan kondisi
pembelajaran, tapi tidak sedikit pula yang mengaku tidak kuasa mengelola
kegiatan dan kondisi psikis anak di rumah.
Bagi saya, ini bukan semata-mata orang tua tidak lagi
antusias dengan kehadiran anak. Tidak bisa dipungkiri, ini tentu karena tidak
biasa dengan pola berjam-jam membersamai anak sekaligus mengerjakan tanggung
jawab pekerjaan.
Apakah berat? Tentu saja.
Tapi orang tua perlu sesekali paham dari sudut pandang
pengelola lembaga dan guru. Energi yang dibutuhkan jauh lebih besar karena guru
harus menyiapkan media belajar sendiri, mengemasnya sendiri, merekamnya
sendiri, dan harus melayani puluhan orang tua di tiap kelas.
"Rasanya kayak ngajar selama 24 jam." Tidak
sedikit rekan-rekan guru yang akhirnya mengeluh demikian.
Jika banyak wali murid mengeluh soal waktu, barangkali kita
perlu sama-sama ingat bahwa guru juga punya waktu. Bahwa guru juga punya anak
yang sama-sama butuh didampingi belajar. Ini bukan lantas menjadi pemakluman,
tapi ini adalah kondisi riil yang sayangnya tidak banyak dijadikan bahan
obrolan.
Setelah bergelut dengan complain dan banyaknya waktu demi
berlangsungnya pembelajaran jarak jauh dengan tetap optimal, sekarang muncul
dilemma terkait rencana pembelajaran tatap muka. Belum ada yang mengonfirmasi
munculnya klaster baru penyebaran virus di lingkungan sekolah yang sudah
menerapkannya, tetapi tentu saja banyak pihak khawatir karena tidak dapat
membayangkan untuk membatasi siswa di sekolah. Bukan lagi soal pembelajaran,
tapi interaksi pertemanan adalah hal yang jika tidak direncanakan dengan baik,
maka tidak menutup kemungkinan akan (lagi-lagi) menyudutkan pengelola lembaga
pendidikan jika ada yang kemudian tertular.
Sampai sini, seringkali saya dan suami saling bertanya:
Kenapa pemerintah tidak menghentikan sementara proses pendidikan, ya?
Pendidikan adalah proses panjang yang menjadi bagian tumbuh
kembang manusia. Pendidikan yang sudah direncanakan dengan matang saja belum
tentu dapat berjalan dengan baik, apalagi jika perencanaan dan pelaksanaannya
sudah banyak dinilai tidak optimal?
Rasanya lebih baik berhenti sekolah satu semester atau satu
tahun, setelah segala upaya masih saja dianggap kurang. Lebih baik menunda,
daripada menjalankan tapi tidak optimal. Jika memang di kondisi ini pendidikan
bukanlah hal yang dianggap utama untuk diupayakan, kenapa harus dipaksakan,
sih? Istirahat dulu saja tidak apa-apa, Bapak dan Ibu pemerintah. Ganti sekolah
dengan fasilitas pendidikan non formal yang fokus pada life skills, alihkan
pemberdayaan guru agar dapat terlibat. Atas nama pendidikan formal, untuk apa
jika nanti di masa depan kita harus merelakan satu generasi hasil tambal sulam
karena melawan pandemi?
Komentar
Posting Komentar