Langsung ke konten utama

Lega

Sebelum menikah bahkan tahu akan menikah dengan siapa, aku selalu berusaha memastikan bahwa setiap langkahku adalah untuk menyiapkan diri berdampingan dengan orang lain. Menjadi istri, menjadi ibu, menjadi bagian dari keluarga orang lain, bahkan menjadi perempuan yang ingin melepaskan pekerjaan untuk fokus kepada keluarga.

Apakah semuanya tuntutan dan terpaksa? Tidak. Semua kulakukan karena aku mau. Tidak ada masalah, semua berjalan baik. Makin hari aku merasa makin siap.

Setelah menikah dengan lelaki yang kupilih, dan kuyakin bahwa ia punya frekuensi yang sama di tengah banyaknya perbedaan, ternyata tidak semua bisa sesuai dengan persiapan tersebut.

Dari banyak hal baru yang kulalui setelah menikah, aku tidak pernah menyangka bahwa yang paling berat tuk dijalani adalah menjadi bagian keluarga dari orang lain. Bukan soal hilangnya profesiku, bulan karena peranku jadi istri yang sepenuhnya di rumah.

Ini cukup membuatku sesak, karena sebelumnya aku sangat percaya diri. Dari latar belakangku, aku terbiasa hidup dengan banyak orang baru. Berada dan berdampingan di lingkungan asing. Dulu, semuanya bisa kujalani dengan mudah.

Mungkin inilah makna pesan dari orang tua, bahwa menikah harus terus mempertimbangkan latar belakang keluarga. Ini bukan soal kesamaan status ekonomi, sama sekali bukan. Ini adalah rambu-rambu supaya kita tak sekonyong-konyong mau hidup di lingkungan baru, tetapi juga mau menerima apapun omongan orang asing yang tiba-tiba harus menjadi keluarga.

Jangan pikir ini pendapat terlalu kasar. Logis dan realistis saja. Betul, kan?

Apakah kondisi itu harus dijalani saja? Tidak selalu. Jika ada radar dalam diri yang menunjukkan bahwa kita tidak mampu dan meminta bantuan, lakukan sejak awal. Terutama pada pasangan.

Walaupun akan jadi hal pahit baginya karena menyangkut keluarganya, tapi kita adalah bagian dari dirinya. Perlahan, jujur dan ceritakanlah. Bukan berharap untuk dibantu, tetapi untuk melegakan dada yang sesak. Juga agar ia tahu, karena dia pun memilih kita jadi pendampingnya. Artinya, harus mau berdampingan dalam menghadapi masalah apapun.

Di tengah kondisi psikis yang tidak baik, (bahkan sepanjang hidup, ini adalah pertama kalinya aku merasa mentalku bobrok. Hancur, tidak bisa kubangun kembali) aku bersyukur memiliki suami yang dengan legowo mau mendengarkanku (akhirnya) jujur. Bahkan dengan besar hati, ia mau tetap melindungiku, sama-sama belajar tuk saling menjadi tameng di hadapan orang lain, mau saling menghormati dan belajar menghargai.

Barangkali ada banyak hal menyakitkan sudah kupendam, tetap akhirnya membuatku lega dengan kebesaran hatiku yang akhirnya mau bercerita. Juga dengan kelembutan hati suamiku yang mau menerima, bersama-sama memperbaiki semuanya.

Ke depan, tentu akan banyak hal berat lain. Minimal, dari hari ke hari kami pun berusaha belajar untuk menanganinya. Bismillah, Insya Allah.

Komentar