Pagi
tadi, kami menerima kunjungan dari para siswa dan guru SMA Islam Al-Ishlah
Boarding School Indramayu. Kami masih menyebut nama Pak Har sebagai Rektor UII.
Dalam sambutannya, Kepala sekolah bahkan memberikan dukungan penuh kepada UII
sebab beliau yakin ada banyak kebaikan yang telah dan akan terus UII lakukan.
Kala itu, otomatis saya meneteskan air mata. Saat itu pula, hati saya bergetar
dan percaya bahwa UII tidak sendirian. Dan, benar, segala kebaikan harus kita
teruskan.
Namun,
sore tadi, tak lama setelah adzan ashar berkumandang, saya menerima banyak
kabar bahwa Pak Har resmi mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Rektor UII sebagai
bentuk pertanggungjawabannya. Saya merasakan hal sebaliknya, jauh berbeda dari
perasaan optimis pagi tadi.
Banyak
yang menghubungi, bertanya, meminta konfirmasi. Tak ada satupun yang saya
jawab, karena saya paham betul pada detik itu saya masih dalam keadaan
emosional. Sedih. Sangat sedih, yang kemudian membuat memori saya otomatis
memutar banyak obrolan dan nasihat dari Pak Har.
“Sing
sabar ya, Nok.” Ini salah satu perkataan Pak Har yang sering saya dengar. Bukan
hanya pada saya, tetapi pada bawahannya ketika dalam kondisi sulit atau sedang
menghadapi hambatan.
Sore
ini diadakan aksi yang ingin mendorong Pak Har agar menarik kembali
keputusannya. Semuanya merasa kehilangan pemimpin teladan. Namun di balik itu,
tak sedikit pula yang mengapresiasi sikap patriotik beliau yang menunjukkan
bahwa segala kondisi institusi maupun organisasi ada di bawah kendali
pemimpinnya. Apapun itu.
Tiga
hari lalu, saya dihubungi Fandi Pasaribu, salah satu mahasiswa FTI UII yang
menggawangi inovasi mobil listrik android Ulil Albab. Ketika itu (dan hingga
hari ini) dia masih di Jakarta, memerjuangkan perkembangan mobil listrik.
“Bapak
di Jogja atau enggak ya, Mbak? Aku kok pingin pulang, nemenin Bapak shubuhan
dan ngobrol.”
Saya
katakan bahwa saya tidak tahu. Dari obrolan itu, kami lantas bicara banyak hal.
Kami sepakat bahwa kondisi ini harus disikapi dengan membangun kekuatan
bersama. Obrolan itu pula yang kemudian mendorong saya menulis KITA UII.
Spirit
saling menguatkan ini bukan semata-mata lahir secara pribadi. Disadari atau
tidak, semangat ini pula yang dibawa Pak Har selama memimpin UII. Saling.
Ketika
lulus dari FIAI UII dan menjadi staf di sana, sebagai bagian dari UII, tentu
tak sedikit pekerjaan yang melibatkan Pak Har selaku rektor. Mulai dari
mengundang beliau menyampaikan sambutan, mengundang beliau untuk meresmikan
unit baru, dan lainnya. Satu hal yang Pak Har tunjukkan, beliau hampir tidak
pernah datang terlambat pada sebuah undangan acara. Tak jarang kami merasa malu
dan tertegur ketika beliau hadir ketika acara belum dimulai, bahkan ketika
peserta belum banyak yang hadir. Hal ini pula yang ada pada bawahannya. Mulai
dari wakil rektor hingga direktur di lingkungan rektorat UII. Jarang sekali ada
pemimpin acara yang terlambat menghadiri acara.
Tak
hanya sekali, ketika kami menyelenggarakan acara, kami menyiapkan kendaraan dan
sopir untuk menjemput beliau. Namun ketika dikonfirmasi, beliau lebih sering
memilih datang sendiri. Tidak dijemput. Dari beliau, saya (dan tentu
teman-teman semua) belajar bahwa gaya kepemimpinan bukan hanya soal pekerjaan.
Sikap yang beliau tunjukkan adalah gambaran bagaimana beliau selalu berupaya
menjadi uswatun chasanah. Teladan.
Dan,
keteladanan ini tak hanya kami rasakan dalam lingkup pekerjaan saja. Seluruh
keluarga UII sudah hapal, ke mana harus mencari Pak Har ketika adzan
berkumandang. Beliau selalu standby
di Masjid Ulil Albab UII, diikuti para staf. Lagi-lagi, saya lantas teringat
dengan cerita yang pernah beliau sampaikan.
“Saya,
kalau disuruh milih mengganti jadwal kuliah karena berhalangan hadir, mendingan
kuliah ba’da shubuh, sekalian shalat shubuh jama’ah, daripada menggantinya di
akhir pekan. Saya pernah lakukan keduanya. Hasilnya, lebih banyak yang hadir
ketika ba’da shubuh. Ya jelas, karena ketika akhir pekan mereka banyak punya
agenda yang barangkali sudah direncanakan. Saya memaklumi bila tak hadir. Tapi,
kalau ba’da shubuh? Tidak ada alasan.”
Beliau
katakan itu ketika menyampaikan sambutan di sebuah acara. Kami semua tertawa
ringan sambil mengangguk mantap. Lagi lagi beliau menjadi contoh. Bukan sekadar
memberi contoh.
Masih banyak lagi sikap beliau yang bukan hanya menjadi contoh tetapi mengandung nilai besar yang mendorong seluruh elemen UII terus memerbaiki diri, bukan hanya dari segi prestasi, tetapi juga pengabdian masyarakat dan tentunya kehidupan spiritual. Religiusitas yang dicerminkan dalam bertutur dan bersikap adalah komponen kekuatan yang Pak Har tularkan selama menjadi Rektor UII. Nilai dan kekuatan itu pula yang harus terus kita pelihara. Kita lanjutkan.
Keputusan
yang telah beliau buat barangkali memang semakin menambah luka dan kesedihan.
Namun, sekali lagi, kita perlu lebih mengelola diri dalam mengungkapkan
perasaan ini. Dukungan moral yang terus kita berikan pada Pak Har, semoga tak
lantas membuat kita kehilangan fokus pada semangat menghimpun kekuatan dalam
menyelesaikan akar permasalahan. Perjuangan yang telah dimulai Pak Har harus
dilanjutkan. Kita bahkan perlu pastikan bahwa keputusan beliau bukan sekadar
membuat kita sedih, tetapi juga meneladani bagaimana seorang pemimpin mau ikut
andil dan tunjukkan sikap tegas sebagai komitmen dari amanah yang beliau emban.
Maturnuwun,
Pak. Untuk pengabdian yang bukan hanya tulus tetapi mendalam.
Pak
Har, kami banyak belajar.
Komentar
Posting Komentar