Mamak, Bapak, aku cinta rumah ini. Aku cinta kota ini. Tetapi jika
aku tetap berada disini, artinya aku kurang bersyukur. Diberikan kesempatan
untuk belajar di Ibu Kota tanpa embel-embel memikirkan biaya pendidikan dan
kehidupan itu tidak bisa dipungkiri memang suatu berkah luar biasa. Tapi aku
harus meninggalkan Mamak yang sedang hamil muda, aku harus jauh dari calon adik
keduaku.
Mamak, titik ujung
dari Yogyakarta selalu menjadi saksi bagaimana aku, Mamak, Bapak, dan Fatma
berada dalam satu tenda angkringan bercahaya redup namun begitu mesra. Mamak melayani
pembeli, Bapak dan aku menyiapkan minum serta menggoreng bakwan, mendoan, dan
kawan-kawannya. Sedangkan Fatma sibuk mencuci gelas bekas kopi. Rumah mungil
ini, pasti tidak akan lupa bagaimana aku dan Fatma selalu berduaan membungkus
satu demi satu sego kucing sebelum dihidangkan untuk para pembeli.
Bapak, lalu nanti
bagaimana dengan sepedaku? Ah, aku harap Bapak memperbolehkan Fatma untuk
menggunakannya. Biar dia jadi perempuan yang berani, Pak. Berani bersepeda. Aku
terbiasa menempuh jarak jauh ketika SD hingga SMA. Dan sekarang aku harus lebih
jauh lagi berjalan sebagai seorang Mahasiswa.
Bukan kemudian aku
tidak lagi mencintai Yogyakarta. Tetapi untuk meraih impian itu seringkali
memang harus berani sendirian. Seorang pemimpin juga harus berani sendirian. Iya,
aku akan bisa memimpin paling tidak untuk diriku sendiri. Begitu harapanku
ketika aku harus menapaki Ibu Kota.
“Yen kangen Mamak karo Bapak, mulih o, Nang”. (Kalau kangen Emak
sama Bapak, pulanglah, Nak)
“Njeh, Mak. Insya Allah sedoyo sae”. (Iya, Mak. Insya Allah semua
baik)
Panasnya Jakarta
jelas jauh lebih terasa daripada Yogyakarta. Dan semakin terasa ketika ingat aku
sendirian. Jakarta, Universitas Trisakti, ah, luas sekali. Ada dorongan kuat
bagaimana caranya agar aku bisa bergerak. Bisa gila jika hanya menjangkau
kampus. Melihat realita Ibu Kota yang macet dan penuh polusi, banyak hal yang
tidak seharusnya terjadi tetapi justru dengan mudahnya terjadi, aku tergelitik
untuk bisa bergerak. Jauh-jauh kesini, aku tidak mau bergerak untuk diriku
sendiri. Aku harus bergerak, untuk Indonesia.
Ternyata tidak
butuh waktu lama untuk bergerak. Nyatanya kita bisa melakukan pergerakan apa
saja, untuk diri sendiri dan untuk Indonesia semau kita. Dari arah mana saja,
dalam bidang apa saja. Bertemu dengan anak-anak muda yang punya semangat tinggi
di Ibu Kota memberi energi lebih terhadapku. Aku tidak sedang berada dijalan
yang sepi. Tuhan tidak akan membiarkan makhlukNya berada dijalan yang sepi untuk
mencapai tujuan yang baik.
Baru beberapa
bulan, aku yang dulunya terlalu berat meninggalkan Mamak, Bapak, Fatma, dan
Adik keduaku, justru lebih tergelitik lagi membaca dibukanya beasiswa untuk
kuliah ke Malaysia. Hasrat untuk terus mencoba bergerak semakin tidak
terbendung. Anak muda Indonesia itu memang tidak seharusnya ragu untuk mencoba
hal-hal baik. Memang ada ruginya mencoba hal baik?
“Mangkat o yen awakmu kudu. Mamak mung iso ngewangi ndongo. Insya Allah
ridho, Insya Allah berkah”. (Berangkatlah kalau kamu ingin. Mamak hanya bisa
membantu berdo’a. Insya Allah ridho, Insya Allah berkah)
Aku ingat sekali
dengan kata-kata itu. Di Jakarta, teman-temanku mungkin sudah menggebu-menggu
mendengar segala keistimewaan Yogyakarta yang kubawa lewat foto dan cerita. Aku
memang pergi, tapi rumah selalu ada di depan mata. Disana juga selalu ada
bayang Mamak, Bapak, dan Fatma.
Terus berjalan dan
berjuang di Jakarta sembari menunggu pengumuman beasiswa ke Malaysia sejujurnya
bukan menjadi hal yang membuatku tidak fokus. Memprioritaskan diri untuk bergerak
tidak hanya dalam satu hal justru bukan membuatku lelah dan ingin berhenti. Semakin
dalam hasrat untuk terus tahu dan lebih tahu tentang segala hal. Aku dan
teman-temanku yang notabene adalah anak muda Indonesia tetap bergerak.
Sudah dua bulan
terakhir, tiap Sabtu sore kami datang ke pinggiran Stasiun Pasar Senen, sekedar
bermain dan mengajak anak-anak disana agar paling tidak waktu mereka tidak
terbuang untuk bermain yang tidak tentu arahnya. Betapa aku disadarkan,
anak-anak Indonesia sangat butuh di damping. Besok jika Adik kedua sudah lahir,
akupun harus mendampinginya. Memastikan dia siap menjadi generasi masa depan
bangsa yang lebih prima.
Baru sebentar punya
niat baik seperti itu, tiba-tiba aku ingat sesuatu. Lalu bagaimana kalau aku
lolos beasiswa ke Malaysia? Bagaimana dengan Adik kedua? Aku pergi, artinya aku
tidak bisa bergerak untuk Indonesia lagi? Sejujurnya untuk pertama kali inilah
aku merasakan galau yang sudah sering dirasakan anak-anak muda lainnya.
Tetapi maaf-maaf
saja, kegalauanku tidak terlalu lama bersemayam. Timbul sebuah pemikiran, jika
aku jauh dan tidak bisa bergerak secara langsung (lagi), mungkin sudah waktunya
aku mulai menggerakkan orang-orang disekitarku. Menggerakkan dari Negeri
Seberang, memastikan ada yang meneruskan perjuanganku disini. Ah, tapi rasanya
terlalu sombong. Toh aku belum tentu lolos. Tapi aku pasti lolos, kok. Pasti. Tidak
ada yang bisa menghalangi.
29 Januari 2012, dengan
santai dan tiada rasa gundah sedikitpun, seperti hari-hari biasanya aku selalu
log in e-mail, sekedar memeriksa ada e-mail masuk atau tidak. Benar saja, ada
satu e-mail masuk dari International Islamic University Malaysia (IIUM).
Mendadak kesantaian yang sekian detik tadi berubah menjadi perasaan gundah tak
karuan. Oh Gusti, aku diterima!
“Assalamu’alaikum, Mamak”.
“Wa’ailikumsalam, Nang. Piye ono opo?” (Gimana ada apa?)
“Mak, Aku ketompo neng Malaysia”. (Mak, Aku keterima di Malaysia)
“Duh Gusti, Ibas. Anakku.. Mugo-mugo barokah, Nang..” (Duh Gusti,
Ibas. Anakku.. Semoga barokah, Nak)
Baru beberapa
bulan di Jakarta, dimulai detik itu aku harus mempersiapkan diri (lagi) untuk
kembali bergerak. Ah, sebentar lagi aku akan semakin jauh dari Mamak. Semakin
jauh dari Yogyakarta, dan Indonesia. Aku begitu ingat ketika dulu nekat
mendaftarkan diri untuk beasiswa di Malaysia itu, banyak hal yang selalu
dibicarakan oleh Mamak. Tentang bagaimana aku di Malaysia, dan bagaimana Mamak,
Bapak, Fatma, dan calon Adikku di Yogyakarta.
Maafkan anakmu
yang ngeyel ini, Mak. Tapi semoga Mamak suatu saat akan melihat bagaimana aku
ketika kembali. Aku tetap anak Mamak. Aku tetap Ibas Hidayat anak Yogyakarta. Dan
aku tetap Anak Indonesia. Kali ini aku harus kembali memulai dan kali ini lebih
jauh lagi.
20 September 2012,
akhirnya aku harus berangkat. Meninggalkan Mamak yang kehamilannya akan segera
memasuki bulan ke-sembilan, meninggalkan Bapak serta Fatma.
“Nduk, Fatma. Mas Ibas mangkat ndisik. Yen Adik bayi wes lahir,
pokoke Mas Ibas titip. Adik bayi kudu pinter. Fatma kan cah pinter kan, Nduk?”
(Dik, Fatma. Mas Ibas berangkat dulu. Kalau Adik bayi sudah lahir, pokoknya Mas
Ibas Titip. Adik bayi harus pintar. Fatma kan anak pintar kan?)
“Insya Allah, Mas. Okeh-okeh ndongo. Ojo lali telpon aku yen Mas
Ibas ono wektu”. (Insya Allah, Mas. Banyak-banyak berdo’a. jangan lupa telpon
aku kalau Mas Ibas ada waktu).
Pesan terakhir
sebelum berangkat ke Malaysia itu aku sampaikan kepada Fatma dengan harapan
(paling tidak) aku bisa memastikan calon Adikku akan jadi orang yang pintar
walaupun bukan langsung dariku tetapi dari kakak perempuannya, Fatma.
Berada di Negeri
orang, aku kembali berusaha menciptakan turning point dalam hidupku. Langkahku
harus lebih ku teguhkan. Aku disini, bersama do’a Mamak dan segenap cinta
kasihnya. Sedikit demi sedikit berusaha mengenal Malaysia dari berbagai sudut. Sejujurnya
tetap membawa kerinduan mendalam terhadap Indonesia. Aku rindu ribuan batik di
tiap pasar, aku rindu sego kucing, dan rindu semangat Indonesia.
Berbagai cara aku
lakukan untuk melampiaskan sejuta rinduku untuk Negeriku, Indonesia. Sejak di
Malaysia, mendadak aku jadi hobi membuka You Tube untuk sekedar searching video-video
baru tentang Indonesia. Banyak sekali video yang dengan gamblang menunjukkan
semangat anak-anak Indonesia. Aku semakin rindu. Tidak jarang aku lupa diri dan
histeris jika aku menonton sebuah video yang dibuat oleh orang Indonesia dan
membuatku merasa tetap berada dan menjadi bagian dari mereka. Aku semakin cinta
Indonesia!
Baru dua bulan di
Malaysia, ada kabar membahagiakan dari Yogyakarta. Mamak akhirnya melahirkan. Dititik
itulah aku semakin gundah dan berdo’a tiada henti. Gusti, aku ingin adikku jadi
anak Indonesia yang hebat.
“Bas, Adikmu wes lahir. Lanang. Penerusmu, Bas”.
Begitu pesan singkat seorang teman yang disampaikan via pesan
Facebook.
Seketika aku
semakin merindukan semuanya. Aku rindu malam-malam bersama Mamak, Bapak, dan
Fatma di angkringan. Aku rindu sawah dekat rumah. Aku rindu menyisir pantai. Yogyakarta
menjadi semakin kuat terasa energi dan keistimewaannya ketika aku sedang berada
di Negeri orang.
Mungkin memang cuma di Yogyakarta, angkringan berjejer sepanjang
jalan, tetapi para penjualnya tidak mengenal rasa iri dan persaingan. Bayangkan,
semua menunya sama. Sego kucing, sate usus, gorengan, kopi joss, teh tarik, dan
kawan-kawannya. Tidak ada menu yang berbeda di semua angkringan. Pada umumnya kasus seperti ini
justru akan memicu persaingan ketat antar pedagang. Tetapi di Yogyakarta, semua
penjual di angkringan adalah dulur (saudara).
Hanya di Yogyakarta, sebuah jalan bisa dijadikan tempat wisata
seharian penuh. Malioboro, Benteng Vedeburg, Kraton, Taman Sari, perpaduan
indah dan kalem dipusat kota. Cuma satu yang disayangkan, tempat-tempat itu
jauh dari rumahku.
Ah, tapi apalah artinya. Di daerahku, Gunung Kidul, menyisir pantai
bisa saja aku lakukan tiap hari disaat remaja lain sibuk berbelanja di pusat
kota. Jelas ini kebahagiaan sederhana namun tak terganti. Bisa saja ketika
matahari terbit aku berada di pantai A, kemudian ketika matahari terbenam aku
berada di pantai Z. Kemudian secara tidak langsung dianggap sebagai anak
pantai. Biarlah, yang penting aku bahagia, dan bahagia bukan karena hal yang
salah.
Aku hanya menapakkan langkah di Negeri Seberang. Negeri yang masih
serumpun dengan Negeriku. Bukan kemudian aku sudah tidak cinta Negeriku
sendiri. Aku begitu cinta Yogyakarta, aku begitu rindu Indonesia. Ibas Hidayat,
Yogyakarta, dan Indonesia. Tidak akan pernah ada ruang untuk renggang,
dimanapun aku.
Komentar
Posting Komentar