Untuk Bapak dan Ibuk
Untuk
Bapak,
Aku selalu ingat bagaimana sewaktu
kecil aku sering menangis karena mendapat perlakuan tegas dari seorang anggota
Polisi dalam segala hal. Mulai dari hal besar tentang tanggung jawab, hingga
hal sepele tentang sikat gigi. Aku merasa beruntung karena diberikan kesempatan
untuk terus di jaga dan di sayangi seorang Polisi, yaitu Bapak.
Bapak, dulu saat aku kecelakaan menggunakan
sepeda motor temanku, dan aku tak berani menemuinya, kau bilang, “Bapak tidak
pernah mengajarimu untuk lepas tanggung jawab dan tidak berani berbicara
tentang kesalahanmu”. Lima menit kemudian tiba-tiba nyali untuk berbicara
dengan si pemilik motor terkumpul dengan penuh.
Suatu pagi saat aku harus ke salah
satu kantor dinas di Kudus, kaupun bilang, “Jaga kepercayaan orang-orang di
segala kegiatan yang kamu ikuti. Suatu hari, jika kamu memutuskan untuk menjadi
wakil rakyat, Bapak tidak akan khawatir karena Bapak percaya bekalmu saat ini
di segala aktifitas yang berhubungan dengan masyarakat, akan membantumu lebih
amanah”. Dua detik kemudian aku tersenyum. Dan sejak saat itu, aku percaya
bahwa Bapak tidak akan pernah melarangku untuk berhubungan dengan masyarakat.
Di usia mudaku yang saat itu masih lima
belas tahun, aku mendapatkan segala wejangan dan bekal yang akhirnya menancap dengan
tajam dalam hati dan pikiranku. Mungkin banyak wakil rakyat yang di dukung
ribuan masyarakat melalui pemilihan umum. Tapi aku yakin, tidak semua diantara
mereka mendapatkan dukungan dari orang tuanya saat masih belia.
Dan saat aku sedang menyaksikan
berita di televisi tentang konflik kepolisian hingga kasus kriminal yang di
lakukan Polisi, Bapak pernah bilang “Jangan terlalu emosional. Ingat, kamu
makan dan sekolah juga dari seorang Polisi.” Sejak saat itu aku percaya bahwa
masih ada ribuan aparat Negara yang bersih dari sekian ratus mereka yang
bertindak kriminal.
Bahkan saat aku bertanya, “Kenapa
Bapak tidak pindah dinas di Kudus saja?”, dengan lantang Bapak menjawab, “Beberapa
kali Bapak di tawari, tapi menolak. Lebih baik kerja agak jauh daripada dekat
namun memberikan peluang banyak orang untuk mempermainkan hukum melalui Bapak”.
Sejak saat iku aku tidak pernah lagi mengeluh “Kenapa Bapak tidak jarang sholat
Idul Fitri bersama keluarga?”
Bapak, maaf jika aku sering menangis
saat harus mendengar nasihat darimu yang terkesan keras. Namun percayalah, saat
mengetik ini, air mataku tiada henti mengalir karena kebahagiaan yang teramat
sangat. Aku mencintaimu, Bapak.
Untuk
Ibuk,
Beberapa kali aku ditanyai seorang
lelaki, “Kenapa kamu memanggil Ibuk? Bukan Ibu?”. Aku selalu tidak mempunyai
jawaban yang ralistis. Namun panggilan Ibuk adalah panggilan tulus dari hati
yang terdalam. Tulisan “Ibuk” juga tulus dari hati yang terdalam, tanpa aku
ingat dan mementingkan Ejaan Yang Disempurnakan.
Aku mungkin termasuk anak yang sulit
di nasihati. Bahkan akhirnya beberapa kali aku memutuskan untuk memilih jalanku
sendiri. Baik di kehidupan akademik hingga dalam meraih cita-cita. Aku begitu
ingat, dengan segala tenaga dan berlinang air mata menyampaikan kepada Ibuk
bahwa aku memilih melanjutkan pendidikan di Yogyakarta, walaupun sebelumnya
Bapak dan Ibuk sudah memberikan tawaran-tawaran menggiurkan jika aku mau
melanjutkan pendidikan di Kudus.
Waktu itu, aku berikrar dalam hati
setelah menyadari bahwa akan banyak biaya yang keluar jika aku ngotot berangkat
ke Yogyakarta, “Mungkin aku masih akan terus merepotkan orang tuaku, tetapi
akan kupastikan semua itu akan menjamin kebahagiaan mereka karena memiliki anak
sepertiku”.
Aku begitu ingat, 10 Februari 2013
Ibuk rela menemaniku berpanas-panas ria di Monumen Nasional untuk bertemu
dengan Pak Dahlan Iskan, padahal Ibuk tentu tahu, kita berdua sama-sama tak
tahan dengan teriknya matahari karena penyakit vertigo yang kebetulan kita
berdua miliki. Namun rona wajah Ibuk tidak menunjukkan ada rasa sakit bahkan
lelah, berganti dengan senyum dan suka cita. Sejujurnya, Ibuk, pagi itu aku
sangat menahan diri agar tidak menangis karena terharu dengan pengorbanan Ibuk.
Hari itu pula aku melihat bagaimana
Ibuk akhirnya bahagia memiliki anak sepertiku, dan sejak saat itu aku berkata
dalam hati “Ini baru halaman pertama, Buk. Aka nada halaman-halaman berikutnya
yang membuatmu lebih bahagia”. Dan sejak saat itu, berbagai cara aku lakukan
untuk memastikan keberadaanku di Yogyakarta adalah bukan sesuatu yang sia-sia.
Semakin bertambah usiaku, semakin
sering pula aku berbagi cerita dengan Ibuk. Kodrat kita yang sama-sama kaum
hawa, membawa suasana cerita penuh cinta. Dan memang, aku mencintai Ibuk.
Untuk
Bapak dan Ibuk,
Beberapa bulan yang lalu, seorang
sahabatku sejak SMA pernah bilang kepadaku, “Dulu, kamu oon banget, lho. Kok sekarang
tiba-tiba kayak gini?”, saat itu pula aku menyadari bahwa langkah awal membuat
bahagia orang tuaku baru saja terlewati, dan masih akan ada banyak hal yang
harus aku lakukan untuk kebahagian Bapak dan Ibuk.
Banyak teman-temanku yang bilang,
beruntung kamu memiliki orang tua yang mendukungmu. Waktu itu aku langsung
ingat bagaimana sejak kecil aku berusaha meyakinkan Bapak dan Ibuk bahwa
impian-impianku bukan hal konyol dan aku pasti bisa meraihnya. Mulai dari
menulis, public speaker, hingga bekal segala organisasi yang selama ini ku
ikuti.
Aku sangat ingat, dulu saat Bapak
dan Ibuk membujukku untuk kuliah di Kudus, Bapak dan Ibuk bilang “Kalau kamu
kuliah di Kudus, kamu boleh ikut lagi organisasi-organisasi, semaumu”. Padahal,
sebelumnya Bapak dan Ibuk sangat khawatir dan melarang mengikuti organisasi
lagi sejak aku sering sakit dan akhirnya harus melaksanakan operasi kecil satu
bulan menjelang Ujian Nasional SMA.
Waktu tawaran itu Bapak dan Ibuk
berikan kepadaku, aku justru semakin yakin bahwa pilihanku untuk melanjutkan
pendidikan di Yogyakarta tidak akan bisa di tawar dengan hal semenarik apapun.
Bahkan sejujurnya waktu itu aku tersenyum, karena sejujurnya aku berniat untuk
berhenti dari semua kegiatan non akademik di bangku perkuliahan (walaupun
nyatanya sekarang –kata orang- aku semakin menjadi-jadi).
Bapak, Ibuk, segala impianku akan
terus aku wujudkan. Mungkin banyak impianku yang bertentangan dengan dukungan
Bapak dan Ibuk. Namun, aku akan tetap membahagiakan Bapak dan Ibuk dengan jalan
dan cara yang aku pilih.
Aku selalu berdo’a, cintaku kepada
Bapak dan Ibuk mungkin tidak lebih dahsyat dari cinta kalian kepadaku. Namun,
semoga cintaku seabadi cinta kalian. Iya, kalian yang saling mencintai sampai
kapanpun.
Peluk dan cium,
Rizka
Komentar
Posting Komentar