Orang
bilang, jujur itu hal paling berat tetapi membawa keberuntungan. Walaupun kita
bisa hancur karena jujur, setidaknya di masa yang akan datang kita pasti akan
mengerti dan percaya bahwa kejujuran akan membuat kita lebih kuat, entah kapan
waktunya.
Bisa
saja saat ini kita jujur, kemudian kita merasa hancur. Namun, nanti saat kita
sudah lebih dewasa (misalnya), pasti kita akn menyadari “Untung dulu aku jujur.
Jadi sekarang aku nggak menyesal”. Begitu lah siklus kejujuran yang pasti akan
membuat kita bahagia atau minimal tenang, kapanpun waktunya.
Sebagai
manusia, walaupun sudah ada emansipasi wanita, tetap ada batasan antara
perempuan dan laki-laki. Bagi yang masih memegang teguh hal tersebut pasti akan
berpikir lebih jauh ketika hendak melakukan sesuatu. Kata orang, “sengsaranya
wanita adalah tidak bisa begitu saja mengungkapkan perasaan yang di punyai”. Realitanya
memang tidak banyak perempuan yang berani mengungkapkan perasaan karena alasan “Aku
kan perempuan”. Kemudian aka nada yang bertanya “terus kenapa kalau kamu
perempuan? Toh sama-sama punya hati. Ya, sama-sama memiliki hak untuk
mengungkapkan segala sesuatu”.
Ketika
kita menangis karena sedih atau kecewa, pasti timbul pikiran “andai saja dulu
aku bla bla bla” di akhir cerita. Mengapa? Karena kita menilai kalau apa yang
kita andaikan itu terjadi, maka jalan ceritapun akan berubah. Saat itu kita
akan tiba-tiba ingin membuat mesin waktu untuk kembali ke sebuah masa dan
melakukan hal yang belum kita lakukan serta kita sesali sekarang.
Saat
seperti itu, kita sering lupa bahwa Allah lah yang memiliki hak atas hati
manusia. Dia yang maha membolak-balikkan hati tanpa kita ketahui. Kita sering
terlalu berpikir “jadi aku harus bagaimana?” tanpa ingat tentang hati dan
Allah. Bahkan kita sering buru-buru ingin lari dari kesedihan dan kekecewaan
tanpa ingin menikmatinya terlebih dahulu. Ibarat karier, banyak orang ingin
sukses tanpa mau gagal. Dan kita semua tentu tahu, sangat kecil kemungkinan itu
terjadi.
Ketika
kita sedih dan kecewa terhadap diri sendiri karena belum bisa jujur, kita pasti
bingung memikirkan apa yang harus kita lakukan? Kepasrahan seharusnya boleh
hadir saat kita ‘terlalu’ berambisi untuk mencoba melakukan hal-hal agar apa
yang kita rasakan tersalurkan. Kita jarang berpikir “Oh, mungkin memang harus
begini jalannya”. Ini di luar tentang mimpi dan impian, ya. Kalau masalah mimpi
dan impian, kejarlah! Sampai kita tidak bisa bernapas karena harus kembali
kepadaNya.
Pernahkah
merasakan kesulitan untuk jujur kepada orang yang bersangkutan? Misalnya, kamu
sedih dan merasa sangat kehilangan karena dia harus pergi untuk sebuah
kebaikan. Dilemma tentu hadir. Kalau sedih, berarti jahat. Lha wong perginya
untuk kebaikan. Tapi kalau berusaha nggak sedih, berarti kita benar-benar
menyimpan rasa dengan rapat. Cukup kita dan hati kita yang tahu. Ketika kita
berhadapan dengan orang tersebut, kita terlihat santai dan tidak ingin
menangis. Mulai dari bahasa tubuh, hingga nada suara, semuanya terdengar
baik-baik saja. Namun, saat baru saja beberapa detik kita berpisah, air mata
tiba-tiba engan lancarnya mengalir tanpa henti.
Pertanyaannya,
kenapa nggak nangis dari tadi aja? Apakah itu membuktikan kita tidak mampu
jujur dengan orang tersebut sehingga harus menutupi kesedihan dan menikmatinya
saat kita sudah tidak bersamanya? Yang seperti itu, bisa dikatakan nggak jujur
kah? Atau jahat terhadap diri sendiri? Ah, tidak juga. Ada kalanya kita perlu
menikmati segala kesedihan terasa. Sejujurnya, kesedihan sering tidak tahu diri
karena hadir seenaknya, kapanpun dan di mana pun.
Coba,
rasakan saja. Apa salahnya berpikir positif? Kadang kita harus menikmati dan
merasakan kesedihan hingga kita menemukan sendiri kebahagiaan sesungguhnya. Belajar
jujur dan percaya. Jujur paling tidak hati kita sendiri sudah tahu apa yang
kita rasakan, dan percaya bahwa dia akan kembali. Rasa cinta itu tidak pernah
membatasi diri untuk melakukan kebaikan walaupun harus pergi.
Karena kejujuran butuh keberanian :D
BalasHapus