Selamat Tinggal, Kuasku!
“Kalau yang ini, harganya berapa,
Mbak?” kataku sambil menunjuk kuas ukuran besar berwarna biru langit itu.
“Lima puluh ribu, Mbak,” pramuniaga
yang sejak tadi berdiri seratus meter dariku akhirnya mendekat.
“Warna lain ada nggak, Mbak? Cokelat
mungkin?” aku kurang suka dengan warna-warna terang. Pemilihan warna kuas akan
mempengaruhi semangatku melukis, jadi aku sangat memerhatikan pemilihan warna
saat membeli kuas baru.
“Yang seperti ini?” tiba-tiba ada
tangan yang menggenggam kuas berwarna cokelat muncul dari belakangku. Aku
segera menoleh, dan saat itu pula aku tak mampu menutup mulutku yang tiba-tiba
terbuka melihat sosok lelaki yang sekarang ada di hadapanku.
“Ini buat kamu aja, La,” kata lelaki
itu sambil mengarahkan kuas berwarna cokelat ke depan mukaku.
“Thanks, Rom. Tapi, nggak
perlu. Kamu juga pasti butuh.” Kataku sambil perlahan mengarahkan kuas itu agar
agak jauh dari mukaku.
“Aku mau cari warna putih, kok.” Jawabnya
sambil memasukkan kuas berwarna cokelat yang tadi di genggamnya ke keranjang
belanjaanku.
Aku hanya sedikit tersenyum dan
menganggukkan kepala, kemudian bergegas pergi ke meja kasir. Kupikir tidak ada
salahnya menerima kuas cokelat itu. Toh aku tidak merebut kuas itu darinya. Dia
yang menyerahkan kepadaku.
“Kamu masih hobi melukis ya, La?”
lelaki berkulit cokelat dengan rambut belah pinggir itu ternyata mengikutiku
berjalan.
“Iya,” aku menjawab singkat sambil
tersenyum ke arahnya.
“Aku sekarang juga suka melukis,
lho.” Dia kini berada di depanku seolah ingin menghentikan langkahku. Mau tak
mau aku harus berhenti.
“Wah, bagus, deh, kalau gitu.” Aku
memaksakan senyum dan berusaha menghindar darinya.
“Kamu mau ke mana, La?” dia kembali
berjalan di sebelahku dan tak berhenti mengajakku bicara.
“Mau pulang aja, kok. Makanya jalan
kaki.” Kali ini aku sama sekali tak menoleh ke arahnya.
“Oh iya, rumah kamu, kan, deket dari
sini, ya? Aku free, nih. Boleh mampir?” katanya dengan antusias.
Mendengar itu aku tentu saja
terkejut dan seketika menghentikan langkah kakiku (lagi). Mau ngapain dia
mampir ke rumah?
“Tapi…, eung…, aku lagi ada tamu.”
Jawabku agak gugup.
“Ya udah, nanti malam jam setengah
tujuh aja, ya, aku ke rumahmu. See you!” katanya kemudian berlari
meninggalkanku sebelum aku menjawab satu katapun.
Aku hanya bengong mendengar
perkataannya. Sejak terakhir aku bertemu dengannya empat tahun lalu, sikapnya
sangat berbeda. Dia yang aku kenal bukan orang yang mudah antusias dan lincah. Bukan
pula orang yang gemar melukis seperti yang tadi dia sampaikan. Dunia dan aku
tidak tahu apa yang terjadi hingga sekarang dia berubah seperti ini.
Bagus, sih, sosoknya yang sekarang
jauh dari anggapan orang galak dan kaku seperti saat aku selalu bersamanya
dulu. Sejujurnya, aku terkesan menghindar darinya tadi hanya karena terkejut
dengan dia yang aku temui barusan. Dia yang berbeda dari dia yang dulu. Iya,
dia. Dia yang dulu selalu menganggap kegemaranku melukis adalah hal konyol
karena aku hanya terjebak dalam imajinasi. Dia yang bilang bahwa kebiasaanku
melukis membuatku lupa dengan dunia nyataku. Dia yang sering menganggapku aneh
dengan segala yang aku lakukan.
******
Kamarku saat ini lebih pantas
mendapatkan julukan ruang melukis. Property melukisku berserakan
dimana-mana. Kanvas yang awalnya berwarna putih tulang kini mulai tergores
warna-warna cerah yang saling bertemu. Goresan-goresan yang tak jelas membentuk
benda apa, namun perpaduan warnanya jelas membuatku tenang dan pengingat bahwa
Tuhan menciptakan dunia penuh warna, seperti apa yang sedang aku lukis
sekarang.
Ya, melukis memang mengingatkanku
tentang hakikat hidup. Tuhan dengan baiknya memberikan kita sebuah kanvas
putih, membekali lita dengan kuas-kuas dengan berbagai ukuran, dan cat-cat
dengan berbagai warna. Memberikan izin kepada kita untuk melukis apapun yang
kita inginkan dalam hidup, tanpa harus membayar dan tanpa paksaan dari Tuhan. Dengan
melukis, aku selalu ingat bahwa segala yang diberikan oleh Tuhan akan menjadi
hal istimewa dalam hidup jika aku menggoreskan warna-warna dalam kanvas kehidupanku
dengan sepenuh hati.
Aku tidak dapat membayangkan,
bagaimana kalau aku menjalani hidup tidak sepenuh hati? Padahal hati adalah
salah satu bekal terkuat manusia dalam hidup selain akal.
“La…, Mila…, ada yang nyariin, tuh.”
Suara Ibu dari luar kamar mengagetkanku.
“Siapa, Bu?” aku meletakkan pallet
dan bergegas membuka pintu.
“Ibu nggak nanya siapa namanya. Tapi
kayaknya dulu dia sering main ke sini, waktu kamu masih SMA.” Kata Ibu saat aku
membuka pintu.
“Cowok, ya?” tanyaku.
Ibu hanya menganggukkan kepala.
Aku menengok ke arah jam dinding dan
waktu menunjukkan pukul 18.30 WIB. Ah, pasti Romli yang datang. Sama seperti
yang dia katakana tadi pagi. Dia akan datang ke rumah malam ini.
Aku segera membersihkan tanganku
dari sisa cat-cat yang kugunakan untuk menulis tadi dan menemuinya.
“Hai, La,” Dia menyapaku sebelum aku
berkata apapun.
“Aku pikir kamu nggak jadi ke sini….”
Kataku dengan suara pelan dan sedikit tersenyum.
“Yuk, duduk.” Aku mempersilahkan dia
untuk duduk di sofa bernuansa peach yang terdapat di ruang tamu.
“Ini buat kamu, La.” Dia menyerahkan
sebuah kotak tipis yang di bungkus kertas kado berpola teddy bear
berwarna ungu.
Aku hanya bisa diam saat menerima
bingkisan itu sambil menerka-nerka apa yang ada di dalamnya.
“Di buka, dong, La….” Kata Romli
sambil mulai membuka bingkisan yang dia bawa. Akupun ikut membuka bingkisan
itu. Ada sebuah bingkai, dan mulai terlihat lukisan seorang perempuan menghadap
ke samping yang di dominasi warna hitam. Kuperhatikan lukisan itu, dan aku
mulai memutar mataku, kemudian menoleh ke arahnya. Aku merasa sangat kenal
sosok perempuan di lukisan itu. Wajahnya tirus, hidungnya kecil dan matanya
membulat.
“Maaf, ya, La, tadi aku memotretmu
sebelum menyapa dan memberikan kuas.” Kata Romli.
Aku hanya memandanginya. Setelah empat
tahun, baru hari ini kami bertemu lagi. Tetapi kenapa dia bersikap seperti ini?
Hal yang kurasa seharusnya tidak mungkin terjadi.
“Kamu ngapain, sih, sibuk
melukis? Mengurung diri berjam-jam di kamar cuma buat lukisan? Jangan terlalu
sibuk dengan imajinasimu. Jadi lupa diri sama dunia nyata.” Katanya sambil
memalingkan muka dariku.
“La?
Kamu nggak suka, ya?” Romli mengagetkanku yang tiba-tiba teringat suatu peristiwa
saat aku masih bersamanya.
“Rom,” aku memanggilnya kemudian
menghela napas perlahan.
“Sejak kapan suka melukis?” Aku
memandanginya sambil mencoba tersenyum.
Suasana mendadak menjadi hening.
Romli hanya diam sambil memandangiku.
“Sejak nggak ada kamu di hidup aku,
La.” Akhirnya dia menjawab setelah diam sejenak.
“Sejak aku baru ngerasain
kehilangan, sejak aku sadar kalau aku kehilangan kamu karena aku sendiri.”
Romli melanjutkan perkataannya dan matanya mulai berkaca-kaca.
“Rom, jangan nangis….” Kataku pelan
dan mengusap bahunya.
“Kadang, kenangan adalah bahan
introspeksi buat diri kita, La.” Romli melanjutkan perkataannya dan suaranya
mulai berat.
“Kenapa dulu aku dengan gampangnya
melepaskan kamu setelah kita bareng-bareng sejak SMP? Dan bodohnya, cuma karena
aku masih belum bisa menerima kamu dan duniamu.” Dia menatapku tajam,
menggenggam tanganku dengan gemetar.
“Seharusnya aku nggak menghalangi
kamu berkarya, La. Seharusnya aku mendukung kamu. Mungkin cuma aku yang tega
nggak mendukung pacarnya sendiri.” Suaranya mulai terdengar penuh emosi.
“Setelah pisah sama kamu dan sadar
sama kesalahanku, aku mulai mencoba melukis. Dan hal-hal yang selama ini aku
lukis adalah semua kenangan sama kamu. La, aku selalu inget kalau dulu kamu
berusaha bikin aku ngerti dengan hobi kamu, dengan kamu ngasih lukisan-lukisan
ke aku. Sejujurnya, dulu aku cuma biarin semua lukisan itu numpuk di gudang.”
Katanya sambil menunduk.
Rasa kecewa dan sedih membumbung
tinggi setelah aku mendengar perkataannya tadi. Ternyata sebenci itu dia dengan
dunia melukisku. Lukisan-lukisan yang aku berikan untuknya, ku lukis dengan
penuh cinta. Ku anggap sebagai perwakilan rasa cintaku yang bisa dia simpan dan
di pandanginya saat merindukanku. Tapi ternyata lukisan-lukisan itu justru
menjadi pengisi di gudang. Barang yang ku buat penuh cinta dan untuk orang yang
ku cintai, ada di gudang. Dan yang melakukannya adalah orang yang aku cintai
saat itu.
“Itu dulu, La….” Dia kembali
menggenggam tanganku. Kali ini aku berusaha melepaskannya.
Aku berusaha sekuat tenaga agar
emosi dan rasa kecewaku tak meledak-ledak. Aku terus mengatur napas dan
sesekali memejamkan mata, berusaha mengontrol diriku sendiri.
“Rom,” Aku memanggil dan berusaha
memandanginya, walaupun berat.
“Aku mungkin sedih kalau kamu nggak
suka dengan dunia melukisku dan nggak suka dengan lukisan yang aku kasih ke
kamu. Tapi aku lebih kecewa kalau kamu naruh lukisan itu di gudang. Sejujurnya,
lebih baik kamu menolak dan mengembalikan ke aku, Rom.” Dalam keadaan emosi
yang terus meletup dalam dada, aku berusaha tersenyum.
“Aku mungkin bukan hanya
menghancurkan perasaan kamu, La. Tapi perasaanku sendiri juga. Aku belajar
banyak hal dari kamu. Bagaimana cara kamu mencintaiku, bagaimana kamu
menghadapi aku yang nyata-nyata nggak menerima kamu dan duniamu.” Tangisnya tak
berhenti, suaranya makin parau.
“Tapi, terima kasih, La.” Romli
mulai mengusap air matanya.
“Jam sebelas malam nanti aku harus
terbang ke Jerman. Aku mau melanjutkan sekolah seni lukis di sana. Dan ini
semua berkat kamu. Aku nggak akan bisa seperti sekarang tanpa kamu, La.” Dia
tersenyum ke arahku.
“Aku tahu, kamu pasti kecewa
denganku. Aku bahagia akhirnya ketemu kamu lagi. Tapi aku nggak mau mengganggu
kamu, walaupun sejujurnya rasa sayangku ke kamu saat ini mungkin lebih kuat
daripada rasa sayangku dulu.” Dia memandangiku, dalam.
“Aku nggak akan ganggu kamu dan
menghalangi kamu melukis lagi, La. Karena aku harus pergi. Dan sebelum aku
pergi, anggap aja lukisan yang aku kasih ke kamu adalah tanda perpisahan.”
Lanjutnya.
“Setelah aku pergi, kamu juga boleh
naruh lukisan ini di gudang, La. Sama seperti yang aku lakukan dulu. Aku pamit,
ya.” Romli berdiri dan pergi tanpa menjabat tanganku.
Suara mobilnya terdengar. Aku berlari
ke teras rumah. Termangu karena masih tak percaya dengan apa yang baru saja
terjadi. Air mataku tiba-tiba mengalir setelah Romli tak lagi ada di hadapanku.
“Aku adalah kanvas, kamu kuas, dan
cinta kita adalah cat nya. Iya, terima kasih sudah menggoreskan cat-cat pada
kanvasku, Romli. Selamat tinggal, kuasku!”
'Kuas' bagus juga merumpamaannya, Ka :)
BalasHapusBtw, taggingnya ada beberapa yang masih salah ;p