Sembilan
September 2013, aku dan enam rekan lainnya (kami delegasi dari Hipprada
Indonesia yang akan hadir di Melaka International Youth Dialouge) menembus
segala prosedur sebelum take off dari Bandara Soekarno-Hatta. Hal
pertama yang ada dalam hatiku saat check in sebelum boarding adalah,
“Asli, begini amat Kuala Lumpur. Gara-gara di sana banyak TKI, ya?”
Kenapa
aku bertanya dalam hati seperti itu? Karena aku dan rekan-rekanku belum
menyiapkan tiket pulang KL-CGK. Pasporku masih kosong, dan ternyata pihak
imigrasi Kuala Lumpur mengharuskan ada bukti tiket pulang jika paspor yang kita
pakai masih baru. Entah mereka khawatir kalau kita akan lebih lama tinggal di
sana, atau gimana. “Emang prosedurnya sekarang kayak gitu, Mbak. Atau nanti
bahayanya, Mbak akan dipulangkan ke Indonesia.” Kata petugas Lion Air. Lagi-lagi
kami hanya diam.
Beruntung,
salah satu rekanku ada yang membawa bukti invitation letter dari panitia
Melaka International Youth Dialouge, acara yang akan kami hadiri di
Malaysia. Mungkin kalau berhubungan dengan imigrasi harus beneran sabar kali,
ya (bagi pemula sepertiku lebih khususnya). Walaupun ada bukti surat tersebut,
petugas tetap tak dapat berjanji apa-apa. Dia justru minta nomor telepon orang
tuaku. Baiklah, kali ini untuk apa?
“Ya,
siapa tahu nanti Mbak kenapa-kenapa di sana, di tahan atau dipulangkan.” Kata
petugas Lion Air sambil tersenyum miris. Karena saat itu waktu sudah sangat
mepet untuk boarding, tentu akan lebih repot jika kami nekat membeli tiket saat
itu juga. Akhirnya dengan pasrah dan berserah diri pada Yang Kuasa, aku
menuliskan nomor telepon Ibuku.
“Buk, maafin, ya. Semoga nanti orang
imigrasi nggak nelepon dan bilang aku di tahan di sana.” Kataku dalam hati.
Akhirnya
kami boarding, kemudian take off. Hati tentu belum bisa tenang
karena masih memikirkan bagaimana nasib saat berhadapan dengan petugas imigrasi
di KLIA (Kuala Lumpur International Airport). Akhirnya kami menyusun
stragegi. Kak Ayum (rekan yang membawa bukti invitation letter) adalah
orang pertama yang harus berharapan dengan petugas imigrasi di KLIA. Selanjutnya
aku dan Kak Dini (kami berdua yang paspornya masih kosong), lalu terakhir
adalah teman-teman yang tak bermasalah dengan paspornya.
Dan,
Allah itu memang Maha Keren. Tak ada masalah apapun saat kami berhadapan dengan
petugas imigrasi di sana. Pukul 01.00 waktu Malaysia, kami sudah selesaikan
semua urusan pasca landing. Namun, rasa lega karena tak bermasalah dengan
paspor kini tergantikan rasa bingung (lagi). “Kemana kami selanjutnya harus
pergi?”
Akhirnya
kami memutuskan tidur di salah satu sudut KLIA. Entahlah, bandara ini berkali
lipat lebih dingin daripada bandara Soekarno-Hatta -_- (aku yang gendut aja
bilang begini. Gimana yang kurus?). Paginya, kami berunding, dimana kami harus
menginap malam selanjutnya? Karena kami baru di jemput panitia tanggal sebelas,
sedangkan kami berangkat tanggal sembilan. Artinya ada dua malam sebelum kami
bertemu panitia. Malam pertama sudah kami lewati dengan bergelut dinginnya
bandara. Lalu selanjutnya???
Ada
dua pilihan. Langsung mencari penginapan, atau ke KBRI-KL (Keduataan Besar
Republik Indonesia-Kuala Lumpur). Sebelumnya, pihak Hipprada sudah mengirimkan
surat ke KBRI via fax. Tapi tak ada balasan apapun. Jadi kami membawa bukti
surat yang kami kirimkan untuk berjaga-jaga. Kenyataannya, kami tak mungkin
mencari penginapan. Uang yang kami bawa terlalu mepet untuk memikirkan hal itu.
Akhirnya kami memutuskan untuk nekat ke KBRI. Jika tak ada bantuan untuk
menginap, maka mau tak mau kami akan mencari penginapan.
Menjelang
siang kami memutuskan berangkat ke KBRI. Mulai dari naik bus hingga kereta. Berkali-kali
ganti kereta, dari satu stasiun ke stasiun lainnya, tentunya sambil
masing-masing membawa koper. Iya, kayak gembel, tapi bawa koper. Kami gembel
elegan selama di Kuala Lumpur. Hehe…
KBRI-KL
berada di Jl. Tun Razak. Kami bertanya ke sana-sini tentang alamat tersebut,
dan dari informasi beberapa orang, katanya, jauh dari bandara. Baiklah, kami
jalani saja. Sudah terlanjur, kan? Setelah naik kereta sejak pagi menjelang
siang, pukul tiga sore kami akhirnya tiba di stasiun Bandar Tun Razak. Ah,
lega, akhirnya, Tun Razak. Iya, kami sangat ingat, Tun Razak.
Sesampainya
di sana, kami bertanya kepada beberapa orang di mana kantor KBRI. Namun tak
seorangpun tahu, hingga ada seorang lelaki yang bertanya, “alamatnya dimana?”. Lalu
kami tunjukkan alamt KBRI. Dan lelaki yang ada di hadapan kami bengong. “Ini
jauh dari sini.” Katanya. Kami semakin bingung.
“Nggak
mungkin. Udah bener, kok, Tun Razak.” Batinku dalam hati.
“Ini
bener Tun Razak, kan, Pak?” Tanya seorang rekanku kepada lelaki itu.
“Bandar
Tun Razak itu berbeda dengan Jl. Tun Razak.”
“DUUUAARRRR!”
Tentu
kami lemas. Seharian kami membawa koper ke sana-sini, berpindah dari satu
kereta ke kereta yang lain, dan ternyata, salah alamat. Tak mau buang waktu,
kami langsung mencari tahu dimana keberadaan Jl. Tun Razak. Yang membuat kami
harus menghela napas lagi adalah, ternyata lokasinya tak jauh dari KLIA. Ya
Allah…..
Saat
itu, jam menunjukkan pukul tiga lebih sepuluh menit. Sedangkan kami tak tahu
pukul berapa kantor KBRI tutup. Dengan sisa semangat yang ada, kami kembali
naik kereta ke KBRI. Sesampainya di sana, kami harus berhadapan dengan petugas
keamanan. Kami semua menyiapkan muka manis dan bersiap tuk bernegosiasi, agar
paling tidak kami dapat masuk dan bertemu siapapun yang dapat membantu kami.
Kami
masuk ke kantor, dan harus menjelaskan (lagi) maksud kedatangan kami kepada petugas
yang ada di ruang depan. Agak lama kami menunggu, akhirnya kami bertemu dengan
Pak Irfan. Beliau mempersilakan kami duduk. Lalu kami menyerahkan surat yang
kami bawa. Beliau membuka, lalu membacanya. Kami semua memandangi beliau saat
membaca, tentu dengan berdoa agar tak ada penolakan untuk memberikan kami
tempat menginap.
“Waduh,”
celetuk beliau tiba-tiba.
“Kenapa,
Pak?” sontak kami membetulkan posisi duduk dan memandangi beliau.
“Kita
nggak punya wisma, lho.” Kata beliau. Lagi-lagi, kami lemas.
“Di
kantor ada musholla nggak, Pak? Kita tidur di musholla nggak apa-apa, deh.”
Kata seorang rekan. Kami semua langsung manggut-manggut, karena sejujurnya tak
tahu lagi harus bagaimana.
“Ada,
tapi, kan, nggak boleh…,” jawab Pak Irfan.
“Ya
udah, tunggu dulu di sini, ya.” Lanjut beliau, lalu pergi meninggalkan kami.
Rasa
was-was jelas makin ada. Kami bertujuh saling berpandangan dan bertanya, “terus
kita gimana, nih?”
Kami
menunggu Pak Irfan sambil sholat ashar, lalu beberapa rekan berfoto dengan
background KBRI-KL. Setelah itu, Pak Irfan datang bersama seorang lelai
berkcamata dan berbadan agak gempal. Dengan senyum lebar beliau menyalami kami,
menanyai siapa kami, tanpa memperkenalkan dirinya sendiri.
“Wah,
dari banyak daerah, ya. Ya udah, nanti kalian tidur di mess aja, ya.” Katanya
sambil tersenyum kepada kami.
“Mess?
Beneran, Pak?” Kami kaget dan memandangi beliau.
“Iya,
dong, bener. Ya udah, saya tinggal dulu, ya.” Lalu beliau pergi dan masuk ke
mobil di depan kantor.
Kami
saling berpandangan, lalu ada yang berteriak, dan ada pula yang berpelukan.
Allah memang keren..
“Saya
urus dulu, ya, tunggu di sini.” Kata Pak Irfan, lalu meninggalkan kami.
Selama
Pak Irfan pergi, kami di temani Pak Dadang (petugas keamanan yang pertama kami
temui saat tiba di KBRI). Kami masih bertanya-tanya, siapa lelaki yang barusan
membawa berita membahagiakan untuk kami? Lalu ada seorang rekan yang melihat
sebuah banner yang ada di depan kantor. Di banner tersebut ada foto duta
Indonesia untuk Malaysia, Pak Herman. Ya, ternyata lelaki tadi adalah duta
besar. Ah, kami sangat bahagia.
“Pak,
kita seneng banget. Tadinya kalau nggak ada tempat, kita nginep di kantor aja
nggak apa-apa, deh. Pak Duta baik banget, Pak.” Kata seorang rekan
mengekspresikan rasa senangnya.
“Ah,
santai aja. Emang tugas kedutaan, kan, membantu.” Kata Pak Dadang.
Tak
lama, Pak Irfan menemui kami lagi.
“Yang
di maksud mess itu rumah pak wakil duta. Nah, karena beliau sedang nggak ada,
kan, nggak enak kalau kalian nginep di sana. Nginep di rumah saya aja, ya. Rumah
saya emang sempit, tapi bisa, lah. Nanti ada dua ruangan untuk cewek dan cowok.”
Tutur Pak Irfan.
Kami
hanya manggut-manggut. Intinya, yang penting kami bisa mandi dan tidur. Sambil menunggu
mobil yang sedang di siapkan, kami duduk-duduk dan membaca semacam tabloid
bulanan yag tersedia di meja depan kantor KBRI.
Kami
menempuh perjalanan ke rumah Pak Irfan. Selama perjalanan kami berusaha menjaga
sikap dan perkataan. Kami nggak mau, dong, jadi pemuda nggak sopan. Udah di
kasih tempat tinggal, terus mau bersikap seenaknya. Duh, nggak banget. (halah)
Lalu
kami tiba di sebuah bangunan yang sangat besaaaaaaaaaaaaaar (hitung ada berapa
huruf A nya). Kami yang awalnya hanya diam, seketika langsung menepuk bahu satu
sama lain.
“Ini,
ini yang dia bilang rumah sempit.” Kataku dalam hati sambil saling menatap
dengan rekan-rekanku.
Mobil
berhenti tepat di depan pintu masuk. Kami turun dari mobil lalu naik lift mengikuti
Pak Irfan. Ternyata beliau tinggal di apartemen (yang menurutku) sangat mewah. Tapi
wajar, ya, untuk seorang pekerja di Kedutaan J
Kami
bertemu dengan istri dan anak-anak beliau. Mereka sangat ramah. Saaangaaaattt ramah.
Iya, beneran ramah banget.
Kami
istirahat, mandi, makan, sambil berbincang dengan Pak Irfan dan Bu Iit (istri
Pak Irfan). Saat kami istirahat di kamar, ada seorang rekan yang iseng membuka
lagi tabloid yang di ambil di kantor KBRI. Ternyata di tabloid itu ada foto Pak
Irfan. Dan, ternyata, ternyata Pak Irfan adalh minister counselor pensosbud
di KBRI-KL. Ah, keren. Kupikir beliau karyawan biasa, awalnya. Untuk ukuran
orang yang memiliki jabatan tinggi seperti beliau, sikap beliau dalam
memperlakukan kami jelas sangat baik dan ramah. Jauh dari kesan arogan. Kami betul-betul
senang.
Ini
baru hari pertama di Kuala Lumpur. Jika kulanjutkan, kalian akan lelah membaca.
Hehe.. jadi, akan kulanjutkan lain waktu, ya. Selanjutnya masih tentang Pak
Irfan dan bagaimana kami saat mengikuti acara di Melaka
Komentar
Posting Komentar