Sejak
kecil, saya berada di lingkungan yang sangat islami. Bukan hanya di rumah,
tetapi saya juga bersekolah di sebuah yayasan pendidikan islam yang tentunya
sangat menjunjung tinggi nilai keislaman. Hal ini berlangsung hingga saya
menempuh pendidikan MTs (setara SMP). Setelah lulus MTs, saya memutuskan untuk
pindah ke SMA Negeri yang berbasis umum. Saat itu, keputusan tersebut saya
ambil karena saya enggan masuk organisasi yang ada di yayasan tersebut.
Sejak saya bersekolah di SMA Negeri,
mau tak mau saya harus berkumpul dengan teman yang tak semuanya memeluk agama
Islam. Saat kelas satu SMA, kelas saya adalah kelas yang paling banyak siswa
beragama Kristen (kelas lainnya hampir semuanya Islam). Segala gejolak dan
permasalahan yang berlatar belakang perbedaan agama jelas paling sering terjadi
di kelas saya.
Saat pemilihan ketua kelas, yang
terpilih adalah teman saya yang beragama Kristen. Awalnya, semua berjalan biasa
saja. Namun, timbul beberapa orang yang berpikir “Di kelas ini, kan, lebih
banyak orang Islam. Seharusnya pemimpinnya juga Islam. Bukankah haram ketika
kita mau di pimpin seorang yang kafir?”. Pertanyaan yang muncul dari
beberapa orang itu menimbulkan permasalahan, pro dan kontra. Sebagian anak
merasa tak masalah jika ketua kelas adalah umat Kristen. Toh kita tak bisa
menilai orang dari agama yang diyakininya. Bukankah semua agama sebenarnya
baik? Memiliki tujuan yang sama, yaitu taqwa kepada Tuhannya?
Namun pada akhirnya, terjadi pergantian ketua kelas, dan tentunya digantikan oleh seorang muslim. Saat permasalahan ini masih menjadi perbincangan hangat, saya menyadari banyak hal. Suatu hari, saya berbincang dengan seorang teman sekelas yang beragama Kristen. Kami memperbincangkan masalah berlatar belakang agama yang terjadi di kelas. “Aku bercerita kepada guru agamaku, dan katanya, ini termasuk diskriminasi. Memangnya kenapa, sih, kalau ketua kelasnya Kristen?”
Mendengar hal itu, sayapun termenung
dan menyadari bahwa sekarang saya tinggal di lingkungan yang penuh keberagaman.
Lalu masihkah pantas jika saya mengimani keyakinan tanpa menghargai dan
menghormati keyakinan teman saya yang berbeda? Sejak saat itu saya menyadari
bahwa keberagaman adalah hal yang harus dicintai.
Apa yang saya alami tentu tak
berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia, hanya mungkin lingkupnya yang
lebih kecil. Menyadari bahwa Indonesia adalah bangsa yang tercipta penuh
keberagaman dan perbedaan, artinya toleransi harus kita tumbuhkan semakin kuat
karena itulah yang menjadi pondasi.
Ini bukan hanya tentang beragam
agama yang ada, tetapi juga suku, hingga karakter masyarakatnya. Ketika
orang-orang di dunia menganggap bahwa Indonesia adalah negeri yang kental
dengan toleransi, seharusnya itu menjadi bahan refleksi diri kita. Benarkah
kita sudah sangat toleransi? Bukan dengan apa yang ada di luar di Indonesia,
tetapi dengan apa yang ada didalam Indonesia sendiri.
Sebagai seorang muslim, tak dapat
dipungkiri rasa sedih sering muncul ketika melihat saudara seiman tak
mencerminkan sikap toleransi. Membawa-bawa nama Tuhan untuk menghakimi saudara
yang berbeda pendapat dan keyakinan, itukah yang selama ini kita bilang sebagai
toleransi tinggi?
Ketika anggapan bahwa kita yang
paling benar, hingga tak mau tahu perbedaan yang ada di diri orang lain, dengan
mudahnya menganggap apa yang dijalani orang lain adalah hal salah dan harus di
cegah, itukah yang kita sebut toleransi?
Bukankah agama adalah Habluminallah
(Hubungan manusia dengan Tuhan)? Lalu mengapa kita sesama manusia justru dengan
percaya diri mendeklarasikan bahwa kita yang paling benar, dan orang yang
berbeda dengan kita adalah orang yang salah? Di Indonesia yang penuh
keberagaman, bukankah setiap orang punya hak hidup, hak beragama?
Saya sering tergelitik dengan
pertanyaan-pertanyaan tersebut ketika melihat permasalahan yang timbul karena
perbedaan. Ketika kita merasa bahwa kita mencintai Indonesia, bukankah itu
artinya kita harus mencintai segala hal yang ada di Indonesia, termasuk
keberagamannya? Pertanyaan selanjutnya adalah, “benarkah kita mencintai
Indonesia, jika apa yang ada di dalamnya saja kita masih sering tak dapat
menerima?”
Di agama yang saya anut dan yakini,
disebutkan bahwa mencintai negara adalah sebagian dari iman (hubbul wathon
minal iman). Lagi-lagi ini menunjukkan bahwa toleransi merupakan hal penting
di Indonesia. bagaimana dengan yang
selama ini terjadi?
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika
(berbeda-beda tetapi tetap satu) sebetulnya sudah sangat jelas menggambarkan
keistimewaan Indonesia yang memang penuh dengan keberagaman. Berbeda-beda yang
merupakan arti dari kata Bhinneka tentu juga berarti beragam. Oleh karena itu,
jika kita memang mengamini semboyan tersebut, keberagaman tak akan menjadi
masalah besar dan berlarut-larut.
Sesungguhnya masalah keberagaman
yang sering kita temui bukan hanya tentang agama yang merupakan kepentingan
masing-masing orang dengan Tuhannya. Dalam hubungan antar manusiapun sering
terjadi permasalahan. Contoh yang paling nyata adalah tentang perbedaan
pendapat. Seringkali yang terjadi, banyak yang tak mau mendengarkan pendapat
orang lain terlebih dahulu, tetapi langsung menganggapnya salah. Ya,
menurut saya ini aneh. Tak mau mendengar pendapat, tapi berani mengatakan orang
lain salah.
Setelah lulus SMA, saya menempuh
pendidikan lanjutan di jurusan Pendidikan Agama Islam di salah satu kampus
swasta di Yogyakarta. Pada kehidupan kampus, lagi-lagi saya disadarkan tentang
keberagaman yang memang sudah menjadi bagian dari Indonesia. Bukan lagi tentang
keberagaman antar agama, tetapi sesama agama. Walaupun saya berada di lingkungan
kampus yang semuanya Islam, tetapi nyatanya tetap tak dapat mengelak dari
perbedaan dan keberagaman. Apalagi di Islam memang ada banyak golongan.
Sekitar awal Mei 2012, Yogyakarta
sedang dipenuhi perbincangan tentang Irshad Manji, seorang penulis buku yang
banyak memicu pro kontra karena pemikirannya tentang Islam. Manji mengadakan
diskusi tentang buku barunya yang berjudul “Allah, Liberty, and Love”
yang banyak di tentang karena pemikirannya di nilai lecehkan Islam.
Saat itu, Manji mengadakan diskusi
di LKiS, sebuah Pusat Kajian Islam dan Transformasi Sosial di Yogyakarta
(setelah sebelumnya diskusi yang akan ia selenggarakan di UGM dibatalkan).
Namun sayangnya, ketika diskusi di LKiS itu tengah berlangsung, ada sekelompok
orang yang mengatasnamakan organisasi Islam datang, membubarkan diskusi
tersebut, dengan cara yang tak menyenangkan. Banyak orang mengalami luka-luka
dan fasilitas tempat di rusak.
Sejujurnya kejadian tersebut menjadi
tamparan walaupun saya tak ikut datang di sana. Pertanyaan yang kala itu ada
dalam benak saya adalah, bukankah setiap orang berhak menyuarakan pendapatnya?
Jika mereka menganggap Irshad Manji sesat, kenapa tak bertemu dengannya saja,
tanpa harus merusak dan melukai banyak orang?
Keesokan harinya, saya menemui
seorang dosen untuk menanyakan pendapatnya tentang peristiwa ini. Saat itu saya bilang, “Pak, bukankah dia
punya hak untuk bicara dan di dengarkan terlebih dulu?”. Tak saya sangka,
sang dosen menjawab, “Jika Manji memiliki hak untuk bicara, maka kita juga
punya hak untuk melarang. Sama-sama punya hak, kan?” seketika saya diam
mendengar jawabannya.
Kemudian saya merenung dan berpikir,
jika setiap orang mengatasnamakan hak ketika memperlakukan orang lain, bukankah
itu artinya tak dapat menerima pendapat orang dan keberagaman yang ada? Orang
akan sibuk menjunjung hak nya sendiri tanpa memikirkan hak orang lain.
Lalu, ketika ada suatu hal yang
dianggap salah dan dihancurkan dengan kejamnya, dengan cara-cara yang tak
mencerminkan bahwa sebagai masyarakat Indonesia yang sadar akan keberagaman dan
mencintainya dengan damai. Sudahkah terbentuk rasa cinta dan rasa memiliki
Indonesia jiak hal-hal seperti ini masih saja terjadi?
Keberagaman yang ada di Indonesia
tentu tak boleh lepas dari kecintaan akan perdamaian, baik sesama golong maupun
dengan golongan lain. Aksi apa yang telah dilakukan untuk mengimplementasikan
semboyan Bhinneka Tunggal Ika?
Etika dalam menjunjung Hak Azazi
Manusia tentu harus diimbangi dengan kesadaran dan kecintaan akan keberagaman
sebagai bagian dari Indonesia. Mengaku dan merasa mencintai serta menjadi
bagian dari Indonesia, tak dapat lepas dari memunculkan rasa cinta akan
keberagaman yang ada, dan berakhir kecintaan akan perdamaian. Perdamaian dalam
keberagaman, bagian dari Indonesia.
Komentar
Posting Komentar