Meja cokelat bersandarkan kaca besar
itu tak lagi nampak menarik. Yang terlihat tiap hari hanya kuas berbagai ukuran
yang bertebaran di mana-mana. Eye shadow, bedak, dan blush on
berbagai merk bertumpukan.
“Selamat pagi, cantik. Hari ini ada
enam agenda.” Perempuan kurus itu masuk sambil menenteng beberapa baju.
“Enam?” seketika aku bangun dari
tempat tidur, lalu menghempaskan diri lagi dan menutup muka dengan bantal.
“Banyak yang menantikanmu. Jangan
bikin penggemar kecewa, lah.” Perempuan itu menyingkirkan bantal dan menatapku
dengan senyuman manis, lalu pergi meninggalkan kamarku.
Kupejamkan mata. Otakku langsung
memainkan rekaman-rekaman senyumku yang selama ini bertebaran di banyak halaman
majalah anak muda. Aku melihat tawa dan mendengar teriakan histeris dari
ratusan penggemar yang menantikan kehadiranku. Matakupun basah. Ya Tuhan,
selama ini hidupku telah habis untuk tersenyum dan tertawa, untuk mereka.
Suhu badanku naik dan napasku mulai
tak teratur. Tiba-tiba aku mendengar
suara dari dalam dada, “Hei, apa yang sesungguhnya kamu cari? Mereka mungkin
mencarimu. Lalu kamu?”
Suara itu menggema dan terdengar
berkali-kali. Pipiku semakin basah. Ya, aku tak menemukan jawabannya. Apa yang
ku cari? Uang? Sudah terlalu banyak. Bahagia? Ya, awalnya. Entah di mana,
sekarang.
Aku mengumpulkan tenaga dan berusaha
bangun. Mataku memandang lurus ke depan, ke arah cermin besar, lengkap dengan
meja yang penuh dengan kosmetik mahal.
Perlahan kutinggalkan tempat
tidurku, melangkah lunglai sambil terus memandang tumpukan benda penuh warna di
atas meja itu.
Ke sentuh satu per satu benda itu.
Penuh warna yang harusnya dapat memacu keceriaanku hari ini.
Jadi, kalian yang selama ini menjadi
sulaman-sulaman dan terukir membentuk topeng di wajahku. Kalian yang seolah
membuatku nampak bahagia dan siap menghibur semua orang. Kalian yang selama ini
membuatku harus selalu terlihat bercahaya dihadapan ribuan orang dan ratusan
sorot kamera. Semuanya hanya topeng. Kalian berhasil menutupi segala rasa yang
menumpuk dan tak kuketahui asalnya.
“Prang!!” kusingkirkan semua
tumpukan kosmetik yang ada dengan sekuat tenaga.
Tangisku pecah. Rasa yang menumpuk
seakan meluap walau aku masih tak tahu dari mana mulanya.
Badanku lemas dan membuatku terduduk
di lantai yang masih dingin karena pendingin ruangan, dan mataku terpejam lagi.
Rekaman sejuta senyum penggemar
begitu nyata terlihat. Senyum yang luar biasa membuat mereka tampak bahagia.
Bekali-kali mereka meneriakkan namaku. Senyumku mulai merekah. Ketulusan mereka
tak ternilai. Aku mulai menemukan jawaban dari pertanyaanku sendiri. Bukan, aku
bukannya tak bahagia. Aku hanya lelah. Aku hanya ingin sejenak saja pergi dari
tatap mata mereka. Aku ingin sejenak saja tak mendengar mereka meneriakkan
namaku.
Seketika rasa syukur menyeruak dalam
dada dan perlahan kuusap air mata yang sudah membuat pipiku terlampau basah.
Banyak orang mengasihiku. Mereka mendukung bahkan memujaku. Namun, mengapa hati
ini kehilangan kasih untuk mereka?
Kutundukkan
kepala dan terdiam. Mencoba mencari apa yang sesungguhnya kuinginkan. Lalu
kurasakan, tak ada artinya aku berhasil membuat mereka bahagia jika tanpa
kebahagiaan. Yang harus kulakukan sekarang mungkin harus sejenak pergi dari
hingar bingar pujian yang sudah terlalu membumbung tinggi.
Aku
butuh pergi sendiri, sejenak saja. Aku harus menemukan tempat yang membuatku
berdiri di titik nol. Melepaskan segala topeng dan kembali mengumpulkan kasih
dari kebahagiaan yang kudapatkan, dan siap tuk kubagikan kepada mereka. Aku
rindu saat tersenyum dan bahagia bertemu mereka.
Ada
yang salah dengan hatiku. Ada yang harus kuluruskan. Menyadari hakikat cinta
dari Sang Maha Cinta dan melangkah penuh cinta. itu yang harus kucari sekarang.
Kukumpulkan
energi yang tersisa dan bangkit dari dinginnya lantai yang kadung mengikat
telapak kaki dan tubuhku.
Ku
buka laci meja dan memulai perjalanan. Jemariku menari, suara guratan terdengar
sayup, begitu tenang. Secarik kertas putih itu kini penuh dengan tinta hitam,
lalu ku tindih dengan pena dan meninggalkannya.
“Aku
pergi sejenak, bukan karena tak mau mencintai pekerjaan dan penggemar. Aku
pergi sejenak, mengumpulkan cinta untuk mereka yang mencintaiku.”
-Ashra-
Aku pergi dan terus mencari.
Mencari keberadaan cinta yang aku rindukan. tapi dimana aku harus pergi untuk
mencari cinta?. Apakah aku harus melangkah di jalan yang berduri, berlari ke
tempat tertinggi, dan mendaki gunung yang sepi?. Bisakah itu menjadi jaminan
bahwa aku akan menemukan cinta?. sejujurnya aku tak yakin dan aku pun tak tahu
kemana aku akan membawa diriku pergi untuk mencari mu, cinta. Jika cinta ada
dalam samudra yang dalam, pasti aku akan menyelam jauh menembus kedalaman
samudra. Jika cinta ada dalam tempat-tempat yang sunyi maka aku pasti senang
berteman dengan sepi.
“Cantik, sudah lama kah kau
menunggu? akulah yang kau cari cantik, akulah yang kau nanti, kini aku ada di
dekatmu.“ Sebuah suara muncul dari dalam tempat yang tak dikenal olehku.
“Siapa kah kau gerangakan suara yang mengampiriku?
Aku tak melihat rupamu dalam satu wujud yang dapat dilihat oleh ku? Tampakkan
dirimu, tampakkan.. !!” saut ku dengan wajah sendu.
Bagaimana mungkin tempat sesunyi
ini ada suara halus yang menyapaku. Lihatlah, tempat ini, jauh dari hiruk pikuk
keramaian. Perempuan-perempuan sosialita perkotaan akan berpikir dua kali untuk
berkunjung ke tempat seperti ini. Begitu juga eksekutif-ekseutif muda berdasi
yang setiap hari bekerja diruangan-ruangan berudara dingin. Mereka mungkin
enggan untuk berkunjung ke tempat ini. Hari ini aku berada jauh dari pusat
kota. Perlu waktu enam jam berjalan kaki untuk mencapai tempat ini. Tempat di
mana aku selalu berteman dengan sunyi, tempat ini adalah tempat yang sering ku
kunjungi untuk mencari “cinta” yang beberapa tahun ini aku cari. Tak jarang aku
merasa sepi dalam ramai, sendiri dalam kebersamaan, dan ditempat yang tak jauh dari bungai
edelweis tumbuh inilah aku selalu mencari. Sekali lagi, mencari. Mencari mu,
cinta.
“Apakah aku tak nampak oleh mu
sobat? Apakah aku perlu mewujudkan diri untuk bisa kau rasakan? Ayo lah sobat,
aku tak perlu menyebutku siapa untuk menjelaskan kedirianku. Aku tak harus
menjelaskan dimana aku berada untuk menunjukanmu bahwa aku ada. Dan aku pun tak
harus menunjukan rupaku untuk membuatmu dapat merasakan bagaimana rasaku. Aku
tak bisa dilihat meski kau mencariku digunung yang tinggi, aku tak bisa kau
jamah meski kau menyelam samudra yang paling dalam, dan aku pun tak akan pernah
bisa kau rasakan meski kau mencari di gurun-gurun pasir yang kering.” Jawab suara itu dengan lembut yang masih tak mau menampakan wujudnya.
Suara itu datang lagi. Aku tertunduk diam. Dan tanpa aku
sadari tubuhku bergetar hebat, meringkih. Aku tak pernah mengalami peristiwa
hebat semacam ini sejak aku dilahirkan dua puluh delapan tahun yang lalu. Tanpa
sadar, aku merasakan setetes air mengalir diatas pipiku. Aku menangis, ya aku
menangis...
“Hei, siapakah kau sebenarnya?
Apakah kau rasa yang aku cari, apakah kau adalah cinta yang selama ini pergi?
Hei jawab.., jawab..!!“ teriakku dalam kondisi diri yang aku sendiri tak bisa
mejelaskan bagaimana kondisiku sekarang karena semua begitu kompleks.
“Ha.. ha.. ha.., masih beranikah kau bertanya tentang
siapa aku? Tidakkah kau sadar bahwa kau telah meninggalkanku dalam segala
aktivitasmu. Kau terlalu sibuk dengan jadwalmu yang padat, kau terlalu asik
dalam kegiatannya yang kau sebut itu menarik. Hei cantik, aku ini adalah hati
mu. Hati yang kering dan tak pernah kau siram dengan mata air keimanan. Mata
air yang tak bisa digantikan dengan popularitasmu yang melangit.“ Keluh suara
itu dengan nada yang terkesan tegas.
Aku pun tak sanggup lagi untuk berbicara dalam kata. Aku
merasa bahwa ada sebuah kerinduan yang amat sangat hadir dalam diriku. Rindu
akan sebuah titik yang akan menjelaskan siapa aku dan kemana aku harus
melanjutkan perjalanan kehidupan. Dan rasa rindu itu seakan telah dijelaskan
oleh apa yang suara itu katakan. Suara yang ternyata hadir dalam hatiku
sendiri. Tentu, suara itu bukanlah suara makhluk yang berdimensi sama denganku.
Itu adalah ‘suara Tuhan’ yang mengingatkanku dalam sebuah pencarian akan makna
rasa yang aku rindukan. ya, rasa cinta. Dalam diamku, aku merasa Dia adalah
teman sejatiku yang tak pernah meninggalkanku salam sepi. Buatku sekarang, amat
tak logis jika mengataan bahwa “aku kesepian”, karena Dia ada bersama ku, amat
dekat. Tak tak ada alasan juga buatku untuk tidak mengumpulkan cinta, karena
hari ini aku tahu siapa yang harus aku cintai dan untuk siapa aku harus
mencinta.
“Cinta lebih ilmiah dari
logika. Seperti tangisan, ia lebih alamiah dari kata-kata. Jika cinta harus
diungkapkan dalam kata, pasti ia selalu salah. Karena rasa tak pernah
terwakilkan oleh kata.., tidak akan pernah.. “, bisik hatiku kembali.
Komentar
Posting Komentar