Entah berapa ribu hari sudah aku disini. Tiap detik, tiap
sisi, kunikmati sendiri. Nikmat? Iya, keadaan yang memaksaku untuk
menikmatinya. Tidak ada yang melarangku untuk protes terhadap apa yang terjadi
dan harus kujalani sekarang. Namun sungguh, akulah yang melarang diriku
sendiri. Apa gunanya aku tidak terima dengan apa yang terjadi sekarang?
Memangnya akan terjadi sebuah perbaikan jika aku protes? Kepada siapa aku harus
protes? Tuhan? Aku begitu sadar Tuhan punya jutaan makhluk yang ingin Dia
perhatikan. Aku sadar, aku tidak akan pernah bisa menjadi prioritas-Nya. Aku
tidak lebih dari seorang glandangan. Melukai orang untuk mendapatkan sesuatu
demi sesuap nasi adalah hal biasa dan menyenangkan buatku. Dalam keadaan
seperti itulah aku menikmati hidup. Orang-orang boleh menikmati bagaimana
lelahnya mencari uang dikantor. Namun aku, menikmati ketika aku dikejar massa
kemudian dipukuli, dilaporkan polisi, ditahan, kabur, ditangkap lagi, begitu
seterusnya.
Aku tidak pernah mau untuk memikirkan apa yang dirasakan orang lain saat aku
melukai mereka. Jangan heran! Mereka tidak ada salah dan berdosa kepadaku. Ini
hanya ekspresiku dalam berusaha menikmati apa yang terjadi. Mereka anggap aku
gadis tidak waras. Baju compang-camping, sepatu lusuh dan celana soberk-sobek.
Rambut cepak yang nyaris botak yang mereka lihat tidak wajar justru membuatku
semakin menikmati. Aku tidak berusaha menjadi prioritas Tuhan, aku tidak
berusaha peduli bagaimana pandangan orang lain terhadapku. Tidak ada yang tahu
bagaimana bisa aku seperti ini. Bahkan Tuhan? Jika Dia taupun, Dia tidak akan
memberi tahu orang-orang itu apa yang sesungguhnya terjadi padaku kan? Jadi
tidak aka ada yang tahu. Hanya aku dan Tuhan yang tahu tentang bagaimana dahulu
aku menahan semuanya dalam dada dan benakku. Berusaha menekan pikiranku sendiri
untuk tidak berspekulasi dan lebih baik diam.
Jika diijinkan, aku lebih memilih menghapus masa lalu. Aku benar-benar tidak
menikmati bagaimana aku harus selalu mengingatnya dan menjadi bayang-bayang
walaupun aku sudah memilih hidup di tengah hiruk pikuk dunia luar yang akrab
dengan segala kekerasan dan tidak mengenal apa itu perasaan dan logika. Entah
aku harus bagaimana untuk melupakan saat dia membantingku kearah kaca yang
kemudian pecah karena terkena badanku. Sayatan beling di urat nadi, dan saat
dia menghantam punggungku dengan benda besar dan tumpul yang entah darimana dia
dapatkan. Dulu, aku tidak peduli dengan luka badan yang timbul akibat semua hal
itu. Dulu aku hanya berpikir dan merasa “apakah dia tidak memikirkan betapa
sakit hatiku dengan segala perlakuan yang telah terjadi?”. Namun sekarang,
justru sebaliknya! Aku sudah tidak pernah memikirkan apa yang aku rasakan dalam
hati dan apa yang dia pikirkan saat melakukan semua itu terhadapku. Seperti
yang kukatakan tadi, aku sudah terlalu terbiasa dan menikmati dunia luar yang
tidak mengenal perasaan logika. Aku hanya masih tidak rela jika aku melihat
bekas syatan beling di urat nadi pergelangan tangan kiriku.
Kembali lagi dengan bagaimana hidupku sekarang. Tidak ada untungnya terus
mengungkit apa yang terjadi dulu. Asal kalian tahu, aku tidak sudi dan sudah
tidak ingat garis mukanya. Ya, orang yang sudah membantingku kesana kemari.
Entah bagaimana bentuknya aku tidak ingat dan tidak peduli. Di keadaan seperti
inilah aku baru merasa betapa Tuhan baik kepadaku. Aku diijinkan untuk lupa
muka orang yang sudah membuat badanku hancur. Aku diijinkan untuk memaksa
diriku sendiri menikmati apa yang kurasakan sekarang. Jangan berpikir bahwa aku
gadis tak punya rasa malu, walaupun aku hidup didunia yang tidak mengenal
perasaan dan logika. Jangan samakan aku dengan gadis-gadis bergincu yang
berdiri dengan memaksakan keanggunan menanti lelaki hidung belang menghampirinya.
Derajatku jelas lebih tinggi dari mereka. Aku lebih memilih disamakan pencuri
kelas kakap daripada disamakan sekelompok gadis itu.
Malam itu aku memutuskan untuk berjalan sejauh aku mampu dan tidak lelah.
Menikmati apa yang orang lain sebut udara namun aku menyebutnya sahabat. Hanya
dialah yang memang benar-benar menemaniku apapun keadaannya. Jika tidak ada
dia, jika Tuhan mengambilnya, aku tentu akan mati. Menikmati udara luar yang
sering kusebut sahabat kebebasan adalah waktu berkualitas dimana aku merefleksi
apa yang sudah terjadi hari ini. Aku tidak pernah memperdulikan seramai apapun
jalanan yang sedang aku lalui. Bagiku, hanya ada aku dan udara. Disaat seperti
inilah aku benar-benar tidak ingin diganggu. Namun entah apa yang terjadi, tiba-tiba
saja aku merasakan ada sosok yang sengaja menubrukkan diri terhadapku. Badannya
ringkih, tak punya tenanga lebih dariku. Dia langsung terpental ketika
bertabrakan kepadaku. Jika boleh jujur, baru saat itulah sejak sekian lama aku
hidup di dunia luar, aku merasa ada sesuatu yang mendorongku untuk membantunya
bangkit dan memastikan dia baik-baik saja. Rambutnya yang sudah memutih serta
raut mukanya yang penuh kelelahan sungguh tidak bisa aku pungkiri sangat
membuatku iba.
Saat aku membantunya bangkit, kulihat dia begitu kesulitan. Badannya begitu
tidak bertenaga. Bagaimana mungkin aku bisa memaksakannya untuk bangkit? Namun
akupun merasa tidak bisa membiarkan badannya terkapar dipangkuanku. Ibuku saja
tidak pernah berada dipangkuanku. Tunggu dulu, Ibu? Ah, aku hampir lupa. Aku
dilahirkan seorang Ibu. Entahlah aku tidak pernah ingat siapa yang barusan
kusebut Ibu dan bagaimana mukanya. Wanita lemah inipun terus berusaha bangkit
namun tetap tidak mampu. Hingga akhirnya aku berusaha rela dia terkapar di
pangkuanku. Sejenak dia menatap mukaku begitu dalam. Sejujurnya aku risih
dengan tatapan matanya. Lambat laun dia memegang pergelangan tangan kiriku. Dia
melirik kearah pergelangan tanganku, dan tiba-tiba menangis. Aku semakin tidak
mengerti. Aku rasa dia terlalu berlebihan. Baru memegang pergelangan tangan
saja menangis. Namun tidak bisa kupingkiri ada rasa terharu dan sedih dengan
apa yang terjadi kepadanya. Hingga akhirnya dia berkata, “Dila? Aldila?”
Aku terkejut. Bagaimana bisa dia menyebut
namaku. Sedari tadi aku diam. Kemudian dia mengeluarkan sebuah kertas dari saku
lusuhnya. Belum sempat berbicara apa-apa lagi, napasnya mulai tersengal. Aku
panic karena tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Hingga akhirnya matanya
terpejam. Kupegang pergelangan nadinya, tak terasa denyut nadi sedikitpun.
Detak jantungnya berhenti seketika. Ah, dia sudah dipanggil Tuhan, batinku. Mau
tidak mau aku harus membopongnya sendiri ke sebuah Rumah Sakit dan Dokter
menyatakan bahwa dia sudah meninggal. Ada setitik rasa sedih dalam hatiku. Baru
saja ada seseorang meninggal dipangkuanku. Orang yang tidak aku kenal siapa
dia. Aku ingat selembar kertas yang sempat dia serahkan kepadaku. Perlahan
kubaca, semakin dalam semakin aku merasakan sesak di dada. Oh Tuhan, ampuni
aku! Betapa aku memang tidak pantas Kau lindungi. Tuhan, ampuni aku…
Teruntuk
Aldila,
Nak,
maafkan aku.
Entah
bagaimana semua hal itu bisa terjadi.
Maafkan
aku, aku tidak pernah menjadi sesuatu yang berarti untukmu.
Maafkan aku, aku tidak ada untuk melindungimu.
Maafkan aku, aku tidak ada untuk melindungimu.
Maafkan
aku, aku tidak bisa berbuat apa-apa ketika dia menyiksa dan membawamu pergi
entah kemana.
Saat
aku menulis surat ini, akupun tidak tahu bagaimana wajahmu.
Tentu
kau lebih cantik dari Ibumu yang hina ini, Nak.
Ibu
yang tidak bisa melindungi anaknya dari segala hal yang ayahmu lakukan
kepadamu.
Aku
terlalu sibuk mencari uang di Negeri orang, hingga tidak bisa melakukan
kewajibanku kepadamu.
Entah,
kau akan membaca secari surat ini atau tidak.
Aku
tidak yakin, Nak.
Mak
Dasri, tetangga kita, dia bilang bahwa satu-satunya caraku untuk mengenalimu
adalah adanya bekas sayatan di pergelangan tangan kirimu.
Sungguh
aku tidak bisa membayangkan.
Aku
harus mencarimu dengan bekal tanda sayatan? Sayatan yang dibuat oleh ayahmu
sendiri.
Maafkan
Ibu, Nak..
Sebagai
tanda abdi Ibu kepadamu, sungguh ibu berjanji akan terus mencarimu..
Ibu
tidak ingin dan tidak rela mati dalam keadaan tidak bersamamu.
Maafkan
ibu, Nak.. Ibu tidak berhasil menjagamu..
Salam
Rindu Penuh Cinta,
Sarti,
Ibumu
(to be continue)
Komentar
Posting Komentar