Hari ini Allah berikanku kesempatan untuk memilih banyak
hal, sama seperti hari-hari kemarin. Orang bilang, pilihan itu relatif. Apa
yang kupilih belum tentu kamu pilih, begitupun sebaliknya.
Sejak kecil, Bapak selalu ajarkanku
tentang pilihan. Mulai dari memilih mana yang harus dikerjakan, sampai memilih
apa yang harus kulakukan saat aku melakukan kesalahan. Dulu, Bapak sering
bilang, “Kamu salah kalau memilih yang ini. Harusnya yang satunya lagi, karena
bla bla bla.” Biasanya kalau sudah begitu, aku hanya diam dan mengikuti ucapan
Bapak.
Hampir dua puluh satu tahun hidup di
dunia ini, sepanjang itu pula aku belajar tentang pilihan. Ada satu titik yang
membuatku berpikir, pilihan itu sesungguhnya bukan hanya tentang benar dan
salah. Toh tiap orang memilih karena memiliki keyakinan masing-masing. Pilihan
itu, bagiku, adalah tentang bagaimana kita mau bertanggungjawab atas pilihan
kita sendiri atau tidak.
Kadang kita gemar memilih. Hanya
sekadar memilih, lalu lupa bahwa ada banyak hal yang harus kita lakukan bahkan
kita pertanggungjawabkan setelah kita memutuskan untuk memilih sesuatu.
Zaman aku masih suka ikut-ikutan dan
takut memilih sendiri, aku sering terjebak pada pilihan yang timbul dari
paksaan. Ya, karena terlalu takut tak ada orang yang berpihak. Takut kalau
jalan sendirian di jalanan yang sepi.
Tumpukan paksaan-paksaan itulah yang
sekarang nyatanya justru membalik keadaan. Dari paksaan orang lain, aku belajar
untuk sesekali memaksa diriku sendiri. Memaksa untuk tegas menentukan pilihan
dan tidak takut dikatakan salah.
Perubahan sikap untuk mau
memperjuangkan pilihan dan memberanikan diri berjalan di jalanan yang sepi
tidak lantas membuat semua baik-baik saja. Banyak orang yang menganggap pilihan
kita salah, seringkali menunggu dan berkata, “Ya, kita lihat saja. Dia akan
menyesal dengan pilihannya.” Entah berapa kali kalimat seperti itu terdengar.
Namun, toh sebagai pemilih sudah selayaknya kita bertanggungjawab pada apa yang
kita pilih. Ya kan?
Coba rasakan. Saat kita memilih,
banyak hal lain yang kita pelajari. Belajar melihat peluang dan risiko, belajar
mengajak diri sendiri untuk memperjuangkan sesuatu, dan tak jarang kita juga
belajar bahwa menjalankan pilihan tak semudah dan sesingkat saat kita memilih.
Saat kita menjalankan pilihan, tak
jarang kita tiba-tiba merasa dan berpikir bahwa kita tidak seharusnya melakukan
hal yang kita lakukan sekarang. Singkatnya, kita sering menyesal dengan hal
yang sebetulnya kita pilih sendiri. Lalu, apa penyesalan itu salah?
Jika kita tidak pernah merasa
menyesal (sekalipun dengan pilihan kita sendiri), sekilas itu nampak luar biasa.
Namun kita juga perlu ingat. Munculnya penyesalan itu sesungguhnya salah satu
bahan untuk kita mau bergerak dinamis. Saat kita menyesal, lagi-lagi kita harus
memilih apa yang perlu dilakukan. Bahkan karena penyesalan itu, seringkali akan
menjadi pertimbangan kita untuk mengubah prioritas.
Misalnya, kita memilih suatu barang
untuk kita berikan kepada kerabat. Namun saat akan memberikan barang itu,
tiba-tiba kita memilih untuk mengurungkan niat karena merasa waktunya tak
tepat, kemudian berharap akan menemukan waktu lain yang lebih oke.
Terus-terusan kita menantikan waktu itu agar dapat segera memberikan barang
kepadanya, tapi waktu itu tak kunjung datang. Saat sudah lelah menunggu, hal
yang paling sering dirasakan adalah, “Aduh, nyesel. Kenapa enggak dikasih dulu
aja?”. Padahal penyesalan itu juga berawal dari pilihan kita sendiri, yang
artinya kita juga harus pertanggungjawabkan sendiri.
Kunci agar tak terkurung pada titik
penyesalan itu tentunya bagaimana kita menyadari peran Allah dan bagaimana kita
melibatkan Allah saat memilih sesuatu. Kita terlalu sibuk pertimbangkan peluang
dan hambatan. Hanya itu yang dipikirkan. Padahal sesungguhnya ada Dia Yang Maha
menunjukkan jalan. Memilih itu juga perlu petunjuk, sekalipun saat kita memilih
berjalan di jalanan yang sepi.
Saat menyesali pilihan kita sendiri,
kita sering tertunduk. Padahal di depan, Dia sudah siapkan pilihan-pilihan lain
yang mungkin tak dapat begitu saja menghapus penyesalan, tapi paling tidak
membuat kita mau untuk terus berjalan. Ya, memilih memang harus siap menyesal
juga. Tapi, jangan berhenti di situ. Cari lagi pilihan-pilihan lain dan belajar
dari penyesalan sebelumnya. Anyway, pada intinya, penyesalan memang selalu ada
di belakang. Kalau di depan namanya judul dan daftar isi. Hehe.. J
Komentar
Posting Komentar