(Atas Nama) Pendidikan Mental
Oleh: Rizka Amalia Shofa
Menjelang tahun
2015 yang bersamaan dengan belum lama berakhirnya masa OSPEK, ternyata masa
yang sering digadang-gadang sebagai masa orientasi belum berhasil membawa nilai
orientasi seutuhnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, orientasi diartikan
sebagai peninjauan untuk menentukan sikap. Kesadaran tentang makna orientasi
sesungguhnya sudah mulai tumbuh di banyak kampus. Tak sedikit kampus yang
membuat aturan-aturan baru dalam pelaksanaan OSPEK. Kegiatan fisik yang pada
tahun-tahun sebelumnya memicu kekerasan dan senioritas mulai diminimalisir.
Namun ternyata
kebijakan yang diambil banyak kampus belum membawa dampak besar pada model
OSPEK. Senioritas yang sudah menjadi budaya dan mengakar adalah masalah yang
masih harus dipikirkan dan ditindak secara tegas. Tugas kampus tak berhenti
pada pembuatan kebijakan baru tentang OSPEK, tetapi juga mengadakan dialog
dengan para senior –yang justru sering diambil alih alumni yang merasa masih
memiliki ikatan-.
Kegiatan fisik
yang sering mengatasnamakan pendidikan mental nyatanya tak berhenti pada push
up dan lari, tetapi mulai keluar dari nilai memanusiakan manusia yang
justru identik dengan pendidikan. Masih banyaknya tindak kekerasan dan
perintah-perintah senior yang tak manusiawi menandakan bergesernya pemahaman
tentang nilai pendidikan dan juga lemahnya pengawasan dari kampus.
Saya teringat
obrolan dengan seorang teman tentang kekerasan berkedok pendidikan mental. Saat
senior memerintahkan seorang mahasiswa baru untuk melakukan aktivitas yang
dianggap tak pantas, lalu si mahasiswa baru tak terima, justru ia akan dianggap
tak memiliki mental baja. Ia dianggap gagal dalam pendidikan mental dan
memiliki mental lemah. Padahal sesungguhnya, justru jika mahasiswa baru (yang
berperan sebagai junior) melakukan segala perintah senior tanpa perlindungan
diri (dapat berupa penolakan karena menganggap perintah senior tak manusiawi),
ia adalah bagian dari gagalnya pendidikan mental. Ia yang sesungguhnya
bermental lemah karena tak berani bertindak tuk melindungi dirinya sendiri.
Jika senior masih
menganggap junior yang menolak perlakuan kasar adalah bagian dari gagalnya
pendidikan mental, maka sesungguhnya sang senior lupa akan nilai pendidikan,
memanusiakan manusia. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan tentang tujuan
diadakannya kegiatan fisik berujung kekerasan. Masa orientasi yang harusnya
dapat melahirkan generasi yang siap berjuang dan menjadi orang berpendidikan,
justru terancam. Para mahasiswa baru sudah dicekoki dengan pemahaman pendidikan
yang jomplang bahkan menyimpang.
Rusaknya pemahaman
sesungguhnya berakar dari para senior yang lupa akan esensi pendidikan dan
orientasi. Bukan hal asing jika kita mengetahui sesungguhnya segala kegiatan
fisik pada masa orientasi hanya sekadar budaya yang tak jelas dasarnya. Kekerasan
dan tindakan tak umum tersebut hanyalah budaya bodhong yang terus dilakukan
karena tak rela dihentikan. Alasan yang sering dipakai tak pernah jauh dari
penguatan dan pengujian mental. Mereka ingin memiliki junior yang ‘tahan
banting’. Sayangnya para senior lupa bahwa mereka juga membutuhkan junior yang
paham makna pendidikan orientasi secara utuh dan tak menafsirkan hanya untuk
membenarkan hal yang sudah biasa terjadi.
Pemahaman tentang
pendidikan mental harus diubah. Sekalipun bertujuan penguatan mental, cara yang
dipakai harus bernilai memanusiakan manusia. Kita tak boleh menyebutnya sebagai
pendidikan jika nilai tersebut membias dan luntur.
Komentar
Posting Komentar