Langsung ke konten utama

Pasrah, Ikhlas, dan Ikatan denganNya.





            Seorang dosen pernah bertanya padaku, “Apa beda antara pasrah dan ikhlas?”. Waktu itu aku hanya menjawabnya dengan tundukan kepala seraya berpikir. Sepemahanku selama ini, kepasrahan dan keikhlasan selalu jalan beriringan, tiada terpisah. Selanjutnya aku hanya menatap beliau, menggelengkan kepala sambil mengerutkan dahi, pertanda menunggu jawaban darinya. Dosenku bilang, “Pasrah adalah awal dari tumbuhnya ikhlas. Perluas rasa pasrah, maka akan permudah tumbuhnya rasa ikhlas”. Mendengar jawaban beliau, aku langsung merenung. Iya juga, ya. Kita akan sulit ikhlas jika tak ada rasa pasrah.
            Sayangnya, selama ini kita memaknai pasrah sebagai tanda kelemahan. Karena merasa tak sanggup lagi, maka kita pasrah dengan Allah. Padahal sesungguhnya pasrah adalah salah satu bentuk keterikatan kita denganNya. Pasrah adalah pertanda kekuatan kita sebagai hamba yang berkomitmen untuk tak lepas dari Sang Maha Memberi Hidup. Seringkali saat kita menyatakan pasrah, orang lain akan bilang, “Yah, kok pasrah. Usaha, lah. Yang kuat gitu, lho. Jangan lemah”. Padahal sesungguhnya, pasrah memang harus muncul dalam tiap usaha. Ah, lebih dari itu, justru dalam tiap langkah kita.
            Saat kita sudah berusaha, lalu hasil yang kita dapatkan tak sesuai harapan, diri harus mati-matian meyakinkan untuk ikhlas. Yang sering menjadi penyebab sulitnya muncul rasa ikhlas, ternyata karena sejak awal berusaha kita tak sisihkan ‘tempat’ untuk kepasrahan. Makhluk yang kuat adalah ia yang selalu menyertakan kepasrahan dalam tiap usahanya, memberi ruang Allah untuk selalu tumbuh dalam hati, dan betul-betul menyadari peranNya bukan hanya karena kewajiban, tapi karena fitrah. Fitrah sebagai hamba yang memiliki keterikatan dan ketergantungan padaNya. Ada tanggung jawab besar yang kita emban sebagai implementasi kepercayaan kita pada Sayang dan Cinta dariNya.
            Pasrah dan ikhlas adalah bagian dari (produk) ikatan kita denganNya. Bayangkan, jika kita tak menumbuhkan rasa pasrah dan ikhlas dalam diri, artinya kita belum menyertakan peran Allah. Kita merasa berjuang sendirian, tak ada yang mendukung. Rasa ini yang sesungguhnya membuat kita nampak lemah. Rasa yang sesungguhnya tak perlu kita miliki. Sesungguhnya Allah bukan hanya mengawasi, tapi mendampingi. Dia ‘bergerak’ atas dasar Rahmaan dan Rahiim, dengan Kasih dan Sayang.
            Saat dihadapkan pada posisi paling bawah dalam hidup, ikatan itu memang sudah harusnya makin menguat, dan membuat kita lebih kuat karena ingat ada yang mendampingi, di mana pun, kapan pun. Agar tak merasa sendirian, kita tak boleh lupa dari mana asal kita, dan ke mana kita akan kembali.
            Yang tak boleh kita lupa adalah bahwa pasrah dan ikhlas bukan pertanda kita lemah dan tak sanggup lagi melangkah, tetapi justru bukti kekuatan dan akan makin membuat kita kuat karena kita makin menyadari peranNya.
            Allah percaya dengan kita sejak dalam rahim, percaya bahwa kita akan mampu bertahan sembilan bulan dalam rahim, lalu mampu lahir dan berjuang di dunia, rasanya sayang sekali jika kepercayaan yang didasari Kasih dan Sayang itu harus kita balas dengan rasa yang harusnya menguatkan, malah justru membuat kita merasa lemah.
            Tentang pasrah dan ikhlas, mereka tak lepas dari kepercayaan Allah pada kita, bahwa kita mampu lanjutkan perjuangan, dan didampingi olehNya. Bukan sendirian.

Komentar

  1. Kita akan kuat dan kokoh spt batu karang selama Allah ada dalam diri kita.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

We Have "Luar Binasa" Behind The "Luar Biasa"

K ita mungkin tidak asing dengan istilah ‘luar biasa’. Luar biasa adalah ungkapan ketika kita takjub melihat sesuatu, baik ciptaan Allah, maupun ciptaan manusia. Kata ‘luar biasa’ sering diplesetkan dengan ‘luar binasa’. Nah, mari kita belajar dari ‘luar binasa’. Tanpa kita sadari, istilah ‘luar binasa’ bisa kita jadikan sebagai suatu hal yang dapat membuat kita lebih semangat dalam menjalani segala macam tantangan hidup. Mengapa demikian? Kata binasa sendiri mempunyai arti hilang, mati atau gugur. Mungkin memang tidak ada kedekatan arti antara ‘biasa’ dan ‘binasa’ meskipun mereka mempunyai struktur kata yang mirip jika diucapkan. Orang mengucapkan kata ‘luar biasa’ saat takjub mungkin karena hal yang menakjubkan tersebut memang keluar dari hal yang biasa dilihat. Misalkan ketika melihat seorang perempuan yang cantik, para pria tidak jarang berkata, “cantiknya luar biasa”. Kita tentu masih begitu ingat dengan kehebatan para pelajar SMK yang berhasil membuat sebua...

I'm Back!

Shock berat pas ngecek tanggal tulisan terakhir di blog. 19 Juli 2018. Udah hampir 2 tahun. Gimana saya bisa selama ini ninggalin blog? Salah satunya ya karena..., lupa bayar domain dan nggak tahu cara balikinnya. LOL~ Baiklah, ini konyol tapi ya sudah. Begitulah kenyataannya. 😴 Apa kabar kalian? Semoga baik, ya. Tetep betah di rumah karena sekarang masih bahaya corona. Ya ya, pasti kalian bosen denger nama penyakit itu. But , kita memang harus lawan. Lantas, bagaimana kabar saya? Hmmm, saya baik dan sudah setahun lebih menikah. Hehehe~ Yup, 10 Februari 2019 saya menikah dengan lelaki yang saya cintai, Ahmad Zaini Aziz. Apakah pernikahan selalu menyenangkan seperti yang saya bayangkan? Sejujurnya, saya sih nggak pernah membayangkan bahwa menikah itu akan selalu menyenangkan. Saya sangat paham bahwa menikah itu soal ibadah dan belajar yang akan bikin kita bahagia. Bukan sekadar senang. Bahagia itu, ya, ternyata bukan hanya soal kumpulan hal menyenangkan. Ketika...

Ternyata Hidup Itu Bukan Puzzle, Tapi Hidup Butuh Banyak Puzzle

Selama ini saya mengira bahwa hidup itu ibarat sebuah puzzle yang harus dirangkai bagian-bagiannya. Pemahaman itu jadi berubah ketika hari ini saya mendengarkan materi tentang transformasi diri. Ternyata, ada banyak puzzle yang harus dirangkai selama hidup berjalan. Bisa jadi kita punya enam puzzle , dan semuanya harua dirangkai perlahan tanpa ada yang bolong. Sepanjang mendengarkan materi, sejujurnya saya sambil merefleksi diri. Bertanya lagi, sebetulnya lingkaran suksea yang mau diraih itu apa, sih? Kenapa itu penting bagi saya? Apa dampak yang ingin saya bagikan pada orang lain dan terasa juga untuk diri saya? Pertanyaan-pertanyaan itu jadi membawa saya untuk menyusun dan mengukur lagi deep structure dan surface structure . Ini bukan soal seberapa saya mau menggapainya, tapi justru menentukan sejauh apa saya mau berupaya mengumpulkan satu persatu bagian yang harus dijalani sampai menemukan hasil. Jika bagian-bagian dari surface dan deep structure masih belum terlengkapi, menurut ...