Memilih dan
dipilih adalah salah satu kodrat manusia.
Sebagai makhluk yang ditakdirkan menjadi pemimpin, kita memang harus
siap dengan segala situasi. Menghadapi segala kondisi yang diberikan Allah dan
tak boleh terus-terusan menghindarinya. Begitu pula saat kita harus berdiri
diantara dua pintu. Keduanya sama-sama awal menuju jalan yang baik. Namun, kita
lebih tertarik pada pintu A yang menjanjikan perjalanan cepat, ketimbang pintu
B yang menjanjikan perjalanan menyenangkan tetapi harus bersabar karena
jalannya lumayan panjang. Permasalahannya adalah, bagaimana kalau pintu B yang
terbuka terlebih dahulu?
Selama perjalanan
hidup, kita tak boleh menafikkan banyaknya jalan cepat yang diberikan Allah
pada beberapa makhlukNya. Hakikat menikmati proses tak selalu bertumpu pada
segala hal yang terkesan lama tetapi optimis berakhir manis. Allah, Sang Maha
Pemberi Kejutan itu juga menyediakan ‘jalan tol’ bagi makhlukNya. Nah, sering
kali kita dihadapkan pada dua hal tersebut. Kita harus memilih salah satu dari
dua hal baik yang disediakan Allah tetapi berbeda prosesnya. Saat kita memilih
jalan yang cepat, Allah ternyata membukakan pintu ‘jalan tol’ bagi kita. Sekali
lagi, sebenarnya akhir dari perjalanan itu sama saja, memohon Ridlo Allah.
Pada kesempatan
itu, lagi-lagi kita diberikan pilihan. Maukah kita memilih pintu ‘jalan tol’
yang sudah nyata dibukakan Allah? Yang terkadang lebih menjengkelkan lagi
adalah kita harus cepat dalam menentukan keputusan. Keadaan yang (seolah-olah)
mendesak ini membuat kita bingung dan tak jarang justru menjadi takut. Salah satu
ketakutan yang sering terpikirkan adalah tentang konsistensi. Jika kita memilih
hal yang sebenarnya kurang kita minati, dapatkah kita menjalaninya dengan
konsisten? Menentukan pilihan dalam waktu singkat tentu tak mudah. Ini bukan
hanya tentang skala prioritas, tetapi kita juga harus siap mempertanggungjawabkan
hal yang sudah (terpaksa) kita pilih.
Lagi-lagi, mau tak
mau, kita tak boleh bosan berbicara tentang niat. Kemantapan niat adalah kunci
dalam menentukan pilihan. Saat menentukan niat, kita harus ingat bahwa Allah
bisa saja menunjukkan banyak pintu yang sebenarnya sama-sama mengarah pada niat
yang kita yakini. Saat dihadapkan pada kondisi mendesak, kita tak diberikan
waktu lama untuk berpikir dan menentukan pilihan. Segala pertimbangan harus
sudah sejak awal disiapkan dalam menghadapi segala pilihan yang akan muncul,
termasuk dalam keadaan mendesak.
Saat menentukan
skala prioritas, kita adalah manusia bertopi kuning. Edward de Bono dalam six
thingking hats (www.debonoconsulting.com)
mengatakan bahwa manusia tipe ini adalah orang yang fokus pada nilai-nilai,
keuntungan, dan alasan mengapa suatu hal bisa bekerja. Dengan topi ini, kita
mencari alasan keoptimisan dan kemungkinan. Kita tak hanya menyiapkan ide
khusus, tetapi juga paham tentang ide dasar yang pada hakikatnya dapat
diperjuangkan dengan jalan yang kadang tak pernah kita pilih.
Pada suatu
keadaan, si ‘topi kuning’ dapat berubah menjadi ‘topi merah’. Orang dengan tipe
ini biasanya berpikir cepat, paling lama 30 detik, lalu digambarkan dengan satu
hingga dua kata. Si ‘topi merah’ menunjukkan berlakunya perasaan dan intuisi
yang tak menuntut penjelasan. Namun, berbeda dengan ‘topi merah’ yang bermula
dari ‘topi kuning’. Dalam keadaan mendesak sekalipun, si ‘merah’ takkan lepas
dari segala pertimbangan yang telah dimantapkan sejak ia masih menjadi si ‘kuning’.
Maka, sebagai orang yang dihadapkan pada posisi mendesak, kita tak boleh
memilih untuk tak memilih. Percayalah, saat dahulu kita menentukan prioritas
adalah bekal kuat untuk kita menentukan pilihan (sekalipun yang tak kita
inginkan bahkan tak pernah kita pikirkan).
Kita tak boleh merasa bahwa keadaan yang mendesak adalah bukti
bahwa kita gagal memperjuangkan hal yang kita mau. Kita tak boleh terisak saat
terdesak. Rasa tentang besarnya kepercayaan Allah pada kita adalah semangat
yang harus dibangun. Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus'ahaa.. Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai kemampuannya.."
(Al-Baqoroh:286). Semangat optimisme dalam menghadapi segala hal yang mendesak
harus selalu dinyalakan. Apalagi jika hal tersebut sesungguhnya jauh dari unsur
madharat.
Yang perlu dicatat adalah tentang peran prasangka kita dalam segala
keputusan Allah. Siapa yang tahu jika ternyata hal mendesak yang Allah
tunjukkan pada kita adalah bukti kepercayaanNya? Dia percaya bahwa kita mampu
bergerak di tempat yang lebih luas dan jalan yang terjal. Maka, adakah alasan
untuk tak selalu optimis pada harapan yang ada di tiap hal mendesak yang
dihadapkan pada kita?
pas lagi baca serasa terpojok, tersadar, dan tersindir....
BalasHapus