Saat membuat surat
izin untuk tidak masuk sekolah, biasanya kita sering menambahkan, “harap
maklum,” di akhir surat. Dalam menghadapi masalah, saat kita tak dapat
mengatasinya, kita juga sering berharap dan meminta agar dimaklumi. Pemakluman yang
sering muncul dalam hidup sebetulnya menjadi dilemma yang lumayan menyita hati
dan pikiran. Berdalih manusia yang tak pernah lepas dari kesalahan maka harus
dimaklumi, bahkan hingga melakukan hal yang tak biasa kita lakukan. Membiasakan
memaklumi diri adalah hal yang sebisa mungkin harus kita hindari. Bahaya jika
kita terlalu sering memaklumi dan akhirnya justru menjadi kebiasaan.
Pemakluman adalah
hal yang sebetulnya manusiawi. Sayangnya, justru karena kita menganggap hal
tersebut sebagai hal yang manusiawi, kita sering tak tegas dalam menempatkan
diri. Misalnya saat kita mendapatkan penghargaan, lalu kita mengeksposnya. Mungkin
tujuannya ingin berbagi kebanggaan dan motivasi, dan akhirnya kita memaklumi. Namun
jika terlalu sering, khawatirnya, justru mulai tumbuh sifat sombong yang tak
kita sadari. Sifat sombong selama ini mati-matian kita hindari ternyata dapat
tumbuh dari sebuah pemakluman. Begitu pula dalam berusaha mengejar cita-cita. Kita
sering bilang pada diri sendiri bahwa yang terpenting adalah prosesnya. Hasil itu
hanya masalah bonus dari Allah saja dan tak seharusnya dijadikan tujuan. Maka saat
kita tak mendapatkan hasil maksimal, kita sering memaklumi diri karena merasa
sudah berusaha. Padahal seringkali kita tak menyadari dan tak mengevaluasi,
jangan-jangan usaha kita yang terlalu stagnan. Kita terus berusaha dengan ritme
yang sama, tak ada kemajuan dan tak ada usaha yang ritmenya lebih cepat dan
baik. Akhirnya kita memaklumi kegagalan.
Lebih bahaya lagi
kalau kita memaklumi hal tak terpuji. Misalkan saat terjadi kejahatan yang kita
nilai penyebabnya karena ada kesempatan yang sangat besar, jadi maklum saja
kalau si pelaku berani melakukannya. Padahal fokusnya, mau ada kesempatan atau
tidak, kalau si pelaku tak ada keinginan mencuri, ya ia tak akan mencurinya. Ini
tentang konsep diri. Bukan sekadar ada kesempatan atau tidak. Maka saat kita
terlalu sering memaklumi sesuatu, kita perlu menanyakan pada diri tentang
keinginan dan tujuan awal kita dalam melakukan sesuatu. Menempatkan diri agar
mengetahui mana yang masih dapat dimaklumi, dan mana yang harus terus
diperjuangkan. Godaan-godaan untuk memaklumi diri memang sangat dekat dengan
kita. Dekat sekali. Banyak kesempatan yang pada akhirnya membuat kita terlalu
sering memaklumi dan menerima keadaan, seadanya. Padahal pemakluman juga dapat
menjadi masalah, sebab dari sana sebetulnya kita sedang mengikis kekuatan diri
untuk menjadi manusia yang lebih tegas.
Masalah pemakluman
ini tak berhenti pada saat kita terlalu sering memaklumi, tetapi juga saat kita
terlalu tinggi berekspektasi atau menilai sesuatu, sampai akhirnya kita tak
dapat memaklumi jika terjadi hal yang tak kita inginkan. Misalnya kita mengenal
seseorang yang usianya sama dengan kita, tetapi ia jauh lebih dewasa. Karena kita
memahaminya sebagai sosok yang dewasa, kita justru tak memaklumi saat ia
melakukan kesalahan kecil yang sebetulnya sering kita lakukan. Karena apa?
Karena selama ini kita mengenal ia sebagai sosok yang dewasa, hingga akhirnya
kita lupa bahwa umurnya sama dengan umur kita, jadi wajar saja ketika ia
melakukan sedikit kesalahan yang mungkin tak biasanya dilakukannya, padahal
sering kita lakukan.
Pada kasus ini,
biasanya akan banyak orang yang enggan mengingatkan. Seringkali mereka
beranggapan, “Dia kan sudah dewasa. Mungkin kita hanya perlu diam, nanti dia
juga akan merasa ada yang berbeda.”. Nah, anggapan seperti ini yang membuat
kita jadi tak mau memaklumi suatu kesalahan yang terjadi. Orang yang dianggap
dewasa tadi juga ingin diingatkan dan tak dianggap selalu benar. Ia juga ingin
dimaklumi dan dibantu untuk memperbaiki diri. Maka saat kita menutup mata,
menganggap sesuatu sempurna, hal itu justru kadang menjadi penghalang kita
untuk mau memakluminya.
Tak mudah memberikan
garis ketegasan dalam memaklumi diri. Kapan kita boleh memaklumi? dan kapan
kita harus menentang rasa ingin dimaklumi agar mau terus berkembang? Mungkin,
kita perlu bertanya pada diri sendiri dan kembali mengingat tujuan kita melakukan
sesuatu, serta memahami posisi kita ‘berdiri’. Kadang, pemakluman bukan hanya
tentang dianggap pantas atau tidak, tetapi juga hasil refleksi tentang tujuan
yang ingin diperjuangkan. Seringkali kita dihadapkan pada hal mendesak agar kita tak mudah memaklumi diri dan belajar yakin bahwa di tiap kelemahan yang sering memberikan pemakluman, ada kepercayaan dsri Allah bahwa kita diciptakan agar mampu belajar memilih dan mempertanggungjawabkan pilihan kita sendiri. Kita perlu sering berbincang dengan diri sendiri, sekadar mengingat kembali tentang hal yang kita tuju dan jadikan pilihan. Pantaskah kita memaklumi diri tuk menyerah berjuang, atau lebih tegas tuk tak mudah memaklumi kerisauan dan bertanggung jawab pada pilihan. Berdialog dengan diri sendiri adalah sarana tuk belajar
tegas dalam menentukan sikap, termasuk pemakluman diri.
Komentar
Posting Komentar