Langsung ke konten utama

Semua Ada Masanya.

Dua hari yang lalu, dengan semangat saya mengirim formulir untuk seleksi Youth Camp di bidang penyiaran. Sejak TK saya senang mendengarkan radio dan bercita-cita menjadi penyiar radio. Walau sudah sering terjun di bidang public speaking, memandu dan mengisi suatu acara, tapi menjadi penyiar radio adalah cita-cita yang belum tercapai. Camp itu diselenggarakan oleh sebuah Aliansi Radio dan didukung oleh UNESCO. Makanya saya semangat sekali.

Semalam, saya mendapatkan konfirmasi kalau saya lolos sebagai peserta. Senangnya luar biasa. Lalu, beberapa jam yang lalu saya hendak mengisi form konfirmasi dari panitia yang harus segera saya kirim balik. Namun saya terdiam karena di kolom formulir tersebut ada kolom universitas atau sekolah, padahal waktu mendaftar kemarin tidak ada syarat siswa/mahasiswa. Di situ saya tersadar, mungkin sudah bukan waktunya lagi kalau saya masih ingin ikut acara acara yang sasarannya mahasiswa. Lha wong saya belum jadi mahasiswa (lagi). Di situ pula saya tersadar bahwa ternyata saya masih sering lupa kalau status saya saat ini bukanlah mahasiswa lagi.

Akhir akhir ini saya sering bertanya dan berdialog dengan diri saya sendiri tentang mana yang harus dikerjakan, masih boleh dikerjakan, dan sudah bukan waktunya untuk dikerjakan (jangan dikerjakan lagi). Beberapa waktu terakhir, banyak teman yang mengajak bertemu, sekadar jalan-jalan. Namun saya tak bisa menurutinya karena ada tanggung jawab yang harus saya kerjakan. Mungkin karena banyak yang mengajak itu, tak jarang saya merasa takut menyakiti hati orang lain karena membuat mereka kecewa. Padahal ini sebetulnya masalah sepele. Hanya tentang jalan-jalan.

Saat ini, Allah mungkin sedang ingatkan saya bahwa semua hal itu ada masanya. Mengikuti acara kepemudaan lalu bertemu teman-teman mahasiswa dari berbagai kota dan negara, mungkin sudah tidak masanya lagi untuk dilakukan. Mungkin sekarang saya harus memprioritaskan untuk mencari ilmu dan berbagi ilmu dengan jalan lain, jalan yang saat ini harus saya hadapi dan selesaikan.

Sering bertemu, jalan jalan dengan teman, mungkin sekarang tidak dapat saya lakukan sesering dulu, karena ada tanggung jawab yang harus diselesaikan. Tidak dapat sering dilakukan bukan berarti tidak dapat dilakukan.

Semua itu memang ada waktunya. Ada masanya. Pendewasaan diri bukan saja tentang pola pikir, tetapi juga tentang bagaimana kita memprioritaskan sesuatu. Kadang kita harus mengesampingkan hal yang dulu sering kita lakukan dan senang kita lakukan.

Tentang masa depan, kita sering terlalu mengkhawatirkannya. Beberapa teman wanita sering merasa khawatir kalau saat ini mereka terlalu produktif, nanti tidak ada lelaki yang berani mendekatinya. Tapi, ya, saya rasa semua itu ada masanya. Kalau saat masih single kita tidak berupaya produktif, justru amat disayangkan. Mengapa? Mumpung masih bertanggungjawab pada diri sendiri dan orang tua. Tentang jodoh? Rasanya kita harus makin sering mengingatkan diri sendiri bahwa nanti, saat kita sudah membangun rumah tangga, tanggungjawab kita adalah mengabdi pada keluarga dan taat pada suami. Pada saat itu mungkin akan banyak prioritas yang diubah. Harus dan wajib diubah. Menyadari posisi inilah yang harus terus kita ingat (bagi yang wanita). Semua itu ada masanya. Saat sudah menjadi istri dan ibu, memang sudah saatnya kita memprioritaskan keluarga, terlepas dari segala pekerjaan yang mungkin dulunya menyita waktu kita.

Saat kita merasa sulit meninggalkan atau berpindah dari zona nyaman, kita harus lebih rajin mengingat bahwa semua memang ada masanya. Bukankah hidup yang berkualitas adalah hidup yang bergerak dinamis? Mengetahui dan berani memilih hal yang harus diprioritaskan adalah salah satu komponen yang harus kita ingat saat hendak bergerak dinamis.

Semua memang ada masanya. Begitupun tentang rasa syukur dan kesabaran. Saat kita harus meninggalkan kebiasaan lama yang kita suka dan kita tahu ada manfaatnya, kita harus bersabar. Lalu saat kita harus bergerak di 'tempat' baru yang walaupun kita tahu betapa besar manfaatnya tetapi mungkin belum biasa kita hadapi dan belum kita suka, di situlah rasa syukur harus terus dipupuk karena Allah amanahkan kita untuk terus bergerak dan bermanfaat. Mengharapkan hal baik harus diawali dengan usaha yang baik, memperjuangkan hal yang baik juga.

Menentang ego memang bukan pekerjaan mudah, tetapi dari situlah kita mampu menganalisis kapan kita harus bergerak di 'ladang' yang baik.

Ya, semua memang ada masanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

We Have "Luar Binasa" Behind The "Luar Biasa"

K ita mungkin tidak asing dengan istilah ‘luar biasa’. Luar biasa adalah ungkapan ketika kita takjub melihat sesuatu, baik ciptaan Allah, maupun ciptaan manusia. Kata ‘luar biasa’ sering diplesetkan dengan ‘luar binasa’. Nah, mari kita belajar dari ‘luar binasa’. Tanpa kita sadari, istilah ‘luar binasa’ bisa kita jadikan sebagai suatu hal yang dapat membuat kita lebih semangat dalam menjalani segala macam tantangan hidup. Mengapa demikian? Kata binasa sendiri mempunyai arti hilang, mati atau gugur. Mungkin memang tidak ada kedekatan arti antara ‘biasa’ dan ‘binasa’ meskipun mereka mempunyai struktur kata yang mirip jika diucapkan. Orang mengucapkan kata ‘luar biasa’ saat takjub mungkin karena hal yang menakjubkan tersebut memang keluar dari hal yang biasa dilihat. Misalkan ketika melihat seorang perempuan yang cantik, para pria tidak jarang berkata, “cantiknya luar biasa”. Kita tentu masih begitu ingat dengan kehebatan para pelajar SMK yang berhasil membuat sebua...

I'm Back!

Shock berat pas ngecek tanggal tulisan terakhir di blog. 19 Juli 2018. Udah hampir 2 tahun. Gimana saya bisa selama ini ninggalin blog? Salah satunya ya karena..., lupa bayar domain dan nggak tahu cara balikinnya. LOL~ Baiklah, ini konyol tapi ya sudah. Begitulah kenyataannya. 😴 Apa kabar kalian? Semoga baik, ya. Tetep betah di rumah karena sekarang masih bahaya corona. Ya ya, pasti kalian bosen denger nama penyakit itu. But , kita memang harus lawan. Lantas, bagaimana kabar saya? Hmmm, saya baik dan sudah setahun lebih menikah. Hehehe~ Yup, 10 Februari 2019 saya menikah dengan lelaki yang saya cintai, Ahmad Zaini Aziz. Apakah pernikahan selalu menyenangkan seperti yang saya bayangkan? Sejujurnya, saya sih nggak pernah membayangkan bahwa menikah itu akan selalu menyenangkan. Saya sangat paham bahwa menikah itu soal ibadah dan belajar yang akan bikin kita bahagia. Bukan sekadar senang. Bahagia itu, ya, ternyata bukan hanya soal kumpulan hal menyenangkan. Ketika...

Ternyata Hidup Itu Bukan Puzzle, Tapi Hidup Butuh Banyak Puzzle

Selama ini saya mengira bahwa hidup itu ibarat sebuah puzzle yang harus dirangkai bagian-bagiannya. Pemahaman itu jadi berubah ketika hari ini saya mendengarkan materi tentang transformasi diri. Ternyata, ada banyak puzzle yang harus dirangkai selama hidup berjalan. Bisa jadi kita punya enam puzzle , dan semuanya harua dirangkai perlahan tanpa ada yang bolong. Sepanjang mendengarkan materi, sejujurnya saya sambil merefleksi diri. Bertanya lagi, sebetulnya lingkaran suksea yang mau diraih itu apa, sih? Kenapa itu penting bagi saya? Apa dampak yang ingin saya bagikan pada orang lain dan terasa juga untuk diri saya? Pertanyaan-pertanyaan itu jadi membawa saya untuk menyusun dan mengukur lagi deep structure dan surface structure . Ini bukan soal seberapa saya mau menggapainya, tapi justru menentukan sejauh apa saya mau berupaya mengumpulkan satu persatu bagian yang harus dijalani sampai menemukan hasil. Jika bagian-bagian dari surface dan deep structure masih belum terlengkapi, menurut ...