Di antara remang neon,
Ada cangkir-cangkir dengan ampas kopi.
Mereka menemani menit-menit dengan gelak tawa,
Yang tak lepas dari obrolan masa lalu.
Tentang pilihan diri,
Keputusan memulai dan mengakhiri.
Sebagian menertawakan tangis,
Lainnya berbangga dengan kesalahan,
Yang kini mengajarkan kekuatan.
Cangkir-cangkir itu menjadi saksi,
Betapa manusia gemar menganyam kisah.
Tumpukan bekas bibir yang makin pekat,
Menjadi pengingat,
Bahwa manusia bisa saja menghilang dan pergi,
Tetapi tidak dengan bekasnya, jejaknya.
Sama seperti ampas dan aroma kopi,
Yang betah menempel,
Meski kopi tak dapat diteguk lagi.
Mereka dengan setia menemani obrolan empunya,
Kadang sejak cahaya meremang,
Hingga mentari muncul dengan terang.
Ujung cangkir yang mulai menghitam,
Menjadi pengantar jawaban,
Tentang alasan manusia memilih kisahnya,
Di hari yang semu di masa lalu.
Sekali lagi, ampas kopi menjadi saksi,
Empunya mengakui pahatan kisah,
Yang dahulu tersimpan rapih,
Bahkan tak jarang membuahkan asumsi.
Bintik hitam di cangkir yang mulai kering,
Tak jarang menemani,
Mencoba mensyukuri jejak nurani,
Walau berakhir menertawakan diri.
Jawaban dari pertanyaan,
Yang dulu begitu saja bumi menelan,
Banyak terungkap dari meja,
Yang penuh dengan bekas kopi yang menyolok mata.
Kopi-kopi itu tak pernah memilih siapa penikmatnya.
Ia menerima yang datang padanya,
Menemani merenung,
Mensyukuri langkah-langkah yang kuat,
Berpacu pada syukur dan nikmat kesabaran.
Cangkir dan ampas kopi,
Adalah pendengar segala kisah ilusi,
Bahkan cita-cita dan mimpi.
Orang boleh saja pergi dan mencari,
Tapi jutaan kisah mencair,
Dari cangkir dan ampas kopi.
4 Syawal,
Tawa renung sekumpulan kawan, di sebuah kedai kopi.
Komentar
Posting Komentar