Langsung ke konten utama

RASA


“Sebenernya, apa yang kamu cari?”

Saya sampai ndak mampu menghitung, berapa kali pertanyaan itu diberikan kepada saya. Seringnya saya menjawab bahwa saya ndak mencari apapun, atau malah ndak tahu apa yang sebetulnya saya cari. Banyak yang menyampaikan, bahwa yang mereka lihat pada diri saya adalah, orang yang ambisius, yang akan berjuang mati-matian untuk banyak pencapaian. Orang yang terlalu sering diakui keberadaannya. Orang yang terlalu memikirkan orang lain dan sering lupa memikirkan diri sendiri. Apa lagi? Masih banyak.

Setelah sekian lama saya terus menuruti banyak hal dalam diri. Aktifitas, pemikiran, perasaan. Perasaan yang baik hingga buruk. Semuanya saya turuti. Dulu, bagi saya, apa yang saya lakukan adalah apa yang nantinya akan saya dapatkan dan nikmati. Dulu, bagi saya, sedekah, berbagi ilmu, adalah sekadar kewajiban yang memang harus dilakukan. Harus. Bukan ingin. Namun, makin hari Dia makin erat menggandeng mesra, mendekap hingga saya tak mampu mengelak. Ada kalanya saya sampai menggelengkan kepala, heran. Yang saya minta, dikasih. Yang ndak saya minta, dikasih juga. Ini mauNya gimana, ya?


Makin hari semua rasa diputar sedemikian rupa. Semua kewajiban yang dulunya bermakna harus, begitu saja dibuatNya berubah menjadi bagian dari keinginan. Ada yang kurang bila diam saja ketika melihat masalah. Ada yang kurang bila tidak membagikan apa yang dimiliki. Ada yang kurang bila bersorak menikmati tanpa menunduk dan menanyakan tujuan pada diri. Saya ndak paham lagi, perasaan macam itu, yang lebih sering muncul, sebetulnya apa?

Berulang kali saya bertekad untuk mengurangi aktifitas, mencukupkan untuk tak lagi mendahulukan orang lain dalam hidup saya. Mau belajar menjadi perempuan yang menyiapkan diri menjadi sosok pendamping, madrasah utama yang standby untuk anak. Namun, lagi-lagi, apa yang Dia berikan seperti membuat saya tidak mampu mengelak. Dia selalu mengajak untuk membagikan apa yang diberikanNya pada saya. Apapun. Kenikmatan materi maupun imateri. Semakin hari saya dipertemukan dengan banyak perempuan luar biasa yang mati-matian mengabdikan diri pada keluarga dan bertekad mengajarkan anaknya untuk menjadi generasi yang berguna bagi bangsa dan agama.

Ya, saya ingat betul, dulu, waktu ulang tahun usia 5 tahun, pertama kali ulang tahun saya dirayakan bareng tetangga dan teman sekolah, Ibu dan Bapak berdoa agar saya menjadi generasi yang berguna bagi bangsa dan agama. Sama, sayapun ingin menjadi Ibu yang menyiapkan generasi yang berguna bagi bangsa dan bangsa. Dan, untuk mewujudkannya, saya harus menjadi contoh, bukan sekadar memberi contoh. Sayapun punya tanggungjawab untuk mengajak anak-anak saya, nantinya, menjadi contoh. Bukan sekadar memahami contoh yang diberikan Ibu dan Bapaknya. Begitu pula dengan membiasakan mereka, nantinya, untuk berbagi. Dalam keadaan cukup maupun kurang, bila berbagi telah menjadi bagian dari diri, kebahagiaan dapat begitu saja muncul. Bukan hanya diiringi haru, tetapi makin dalam memaknai syukur.

Jika hingga hari ini Dia semakin memberikan ruang dan mengajak saya untuk berbagi apapun, hal ini bukan lagi masalah kewajiban yang harus dilakukan, tetapi menjelma menjadi hal yang selalu ingin dilakukan. Berbagi ini seolah menjadi kurikulum utama dalam hidup. Semua aspek prosesnya, belum sempurna bila belum berbagi. Poin utama dalam berbagi sebetulnya bukan sekadar membuat bahagia orang lain, tetapi juga memastikan kita bahagia ketika membaginya. Jangan kemudian bayangkan berbagi ini berhenti pada rajin sedekah materi. Bukan juga masalah membagi suami. Oh, tentu saja tidak tentang itu. Beda hukum dan aturannya. Berbagi ini, tentang rasa yang selalu kita punya, mendorong kita untuk peka, dan mendekatkan kita pada Dia Sang Pemberi bahagia.

Berbagi bukan masalah seberapa besar penghasilan dan sesempat apa untuk perduli. Berbagi ini seolah menjadi jembatan untuk menujuNya. Makin banyak berbagi manfaat, makin dekat, makin kuat. Jangan bayangkan berbagi ini masalah ambisi untuk karier dan jabatan. Tidak. Jauh dari situ. Kemauan berbagi bukan lagi masalah duniawi. Jauh dari itu. Anehnya, berbagi ini juga bukan karena iming-iming pahala ketika memang menjadi kebutuhan dan kebiasaan. Yang muncul hanya haru, syukur, bahagia. Orang melihat kita berkurang, tapi kita merasa bertambah. Aneh, ya? Tidak. Ini bukti cintaNya. Cinta yang tidak disimpan untuk kita sendiri. Cinta yang selalu diteruskan dan dilengkapi.

Jadi, apa jawaban dari pertanyaan di awal? Mencari tempat dan waktu, tempat Dia berada. Sebab Dia selalu punya cara untuk mengajak dan mengingatkan berbagi penuh cinta, mengubah rasa menjadi begitu sempurna.


Entah sudah berapa kali saya ingin menuliskan hal ini. Dan, saya yakin, tulisan inipun bukan tulisan sempurna, dan terkesan tak terarah. Entahlah, ini tentang rasa. Rasa yang hanya dapat terdefinisi oleh rasa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

We Have "Luar Binasa" Behind The "Luar Biasa"

K ita mungkin tidak asing dengan istilah ‘luar biasa’. Luar biasa adalah ungkapan ketika kita takjub melihat sesuatu, baik ciptaan Allah, maupun ciptaan manusia. Kata ‘luar biasa’ sering diplesetkan dengan ‘luar binasa’. Nah, mari kita belajar dari ‘luar binasa’. Tanpa kita sadari, istilah ‘luar binasa’ bisa kita jadikan sebagai suatu hal yang dapat membuat kita lebih semangat dalam menjalani segala macam tantangan hidup. Mengapa demikian? Kata binasa sendiri mempunyai arti hilang, mati atau gugur. Mungkin memang tidak ada kedekatan arti antara ‘biasa’ dan ‘binasa’ meskipun mereka mempunyai struktur kata yang mirip jika diucapkan. Orang mengucapkan kata ‘luar biasa’ saat takjub mungkin karena hal yang menakjubkan tersebut memang keluar dari hal yang biasa dilihat. Misalkan ketika melihat seorang perempuan yang cantik, para pria tidak jarang berkata, “cantiknya luar biasa”. Kita tentu masih begitu ingat dengan kehebatan para pelajar SMK yang berhasil membuat sebua...

I'm Back!

Shock berat pas ngecek tanggal tulisan terakhir di blog. 19 Juli 2018. Udah hampir 2 tahun. Gimana saya bisa selama ini ninggalin blog? Salah satunya ya karena..., lupa bayar domain dan nggak tahu cara balikinnya. LOL~ Baiklah, ini konyol tapi ya sudah. Begitulah kenyataannya. 😴 Apa kabar kalian? Semoga baik, ya. Tetep betah di rumah karena sekarang masih bahaya corona. Ya ya, pasti kalian bosen denger nama penyakit itu. But , kita memang harus lawan. Lantas, bagaimana kabar saya? Hmmm, saya baik dan sudah setahun lebih menikah. Hehehe~ Yup, 10 Februari 2019 saya menikah dengan lelaki yang saya cintai, Ahmad Zaini Aziz. Apakah pernikahan selalu menyenangkan seperti yang saya bayangkan? Sejujurnya, saya sih nggak pernah membayangkan bahwa menikah itu akan selalu menyenangkan. Saya sangat paham bahwa menikah itu soal ibadah dan belajar yang akan bikin kita bahagia. Bukan sekadar senang. Bahagia itu, ya, ternyata bukan hanya soal kumpulan hal menyenangkan. Ketika...

Ternyata Hidup Itu Bukan Puzzle, Tapi Hidup Butuh Banyak Puzzle

Selama ini saya mengira bahwa hidup itu ibarat sebuah puzzle yang harus dirangkai bagian-bagiannya. Pemahaman itu jadi berubah ketika hari ini saya mendengarkan materi tentang transformasi diri. Ternyata, ada banyak puzzle yang harus dirangkai selama hidup berjalan. Bisa jadi kita punya enam puzzle , dan semuanya harua dirangkai perlahan tanpa ada yang bolong. Sepanjang mendengarkan materi, sejujurnya saya sambil merefleksi diri. Bertanya lagi, sebetulnya lingkaran suksea yang mau diraih itu apa, sih? Kenapa itu penting bagi saya? Apa dampak yang ingin saya bagikan pada orang lain dan terasa juga untuk diri saya? Pertanyaan-pertanyaan itu jadi membawa saya untuk menyusun dan mengukur lagi deep structure dan surface structure . Ini bukan soal seberapa saya mau menggapainya, tapi justru menentukan sejauh apa saya mau berupaya mengumpulkan satu persatu bagian yang harus dijalani sampai menemukan hasil. Jika bagian-bagian dari surface dan deep structure masih belum terlengkapi, menurut ...