Beberapa waktu terakhir, media
sosial ramai dengan berita bunuh diri. Hari ini, bahkan makin sering berita
semacam itu dapat kita baca di mana saja. Di Indonesia, setelah kasus bunuh
diri yang disiarkan secara live melalui akun facebook oleh yang melakukan,
sejak kemarin ramai pula berita tentang Amelia, siswa SMK yang bunuh diri
setelah mencoba mengungkap kecurangan dalam UNBK tetapi malah diintimidasi oleh
gurunya. Beritanya dapat dibaca di sini. Pada serial televisi, Netflix
menayangkan serial berjudul 13 Reasons Why yang menceritakan tentang Hannah
Baker, remaja yang memutuskan bunuh diri setelah ia menjadi sasaran bullying
oleh teman-temannya, dan ia merasa tertekan dengan segala kejadian yang ada di
sekitarnya. Saya baru nonton sampai episode 10, dan secara alur sebetulnya
serial ini biasa aja. Lebih banyak halu kalau kata anak muda zaman sekarang.
Namun, dari serial ini saya bukan hanya dapat melihat bagaimana efek bullying
dari sudut pandang korban, tetapi juga melihat bagaimana dampak dan bahkan
penyebab yang bisa saja muncul bukan hanya dari teman, tetapi juga keluarga
atau bahkan sekolah yang seharusnya bekerja sama dalam mengelola pendidikan.
Seringkali, ketika terjadi kasus
serupa, yang menjadi sorotan utama adalah keluarga. Apalagi bila yang bunuh
diri adalah anak atau remaja. “Ini gimana orang tuanya dalam mendidik, sih?” “Orang
tuanya nggak perhatian sama anaknya nih pasti.” dan
komentar lainnya. Atau, bila indikasi penyebabnya adalah masalah akademik, yang disalahkan adalah pelaku secara personal. Misalnya, guru. Masih jarang yang menyoroti peran sekolah dalam pengelolaan Sumber Daya Manusia secara karakter sebagai upaya pencegahan kasus serupa. Well, padahal penyebab orang depresi, sedih, merasa tertekan, bukan cuma itu saja. Selain soal komunikasi orang tua dan sekolah yang harus intensif, perlu disadari bahwa makna komunikasi bukan hanya soal seringnya bertemu. Pada kasus Hannah Baker di serial 13 Reasons Why, Hannah bukanlah anak yang pendiam. Ia cenderung nampak dekat dengan orang tuanya. Namun, ternyata dia tidak pernah menceritakan masalah yang sedang dihadapi. Lebih parahnya lagi, masalah itu terjadi di satu lingkungan, dan tidak hanya satu masalah.
komentar lainnya. Atau, bila indikasi penyebabnya adalah masalah akademik, yang disalahkan adalah pelaku secara personal. Misalnya, guru. Masih jarang yang menyoroti peran sekolah dalam pengelolaan Sumber Daya Manusia secara karakter sebagai upaya pencegahan kasus serupa. Well, padahal penyebab orang depresi, sedih, merasa tertekan, bukan cuma itu saja. Selain soal komunikasi orang tua dan sekolah yang harus intensif, perlu disadari bahwa makna komunikasi bukan hanya soal seringnya bertemu. Pada kasus Hannah Baker di serial 13 Reasons Why, Hannah bukanlah anak yang pendiam. Ia cenderung nampak dekat dengan orang tuanya. Namun, ternyata dia tidak pernah menceritakan masalah yang sedang dihadapi. Lebih parahnya lagi, masalah itu terjadi di satu lingkungan, dan tidak hanya satu masalah.
Dari Hannah, saya belajar bahwa
komunikasi bukan hanya soal intensitas, tetapi juga konten yang disampaikan. Sedekat
apa, sedalam apa. Senyaman apa orang menyampaikan sesuatu, hingga akhirnya ia
merasa aman. Rasa aman ini merupakan kebutuhan penting tiap orang, dan bahkan
diungkapkan Abraham Maslow dalam teori kebutuhan. Keamanan ini penting dan
tidak dapat diukur dari kedalaman kasus. Tidak semua orang tahan dengan kasus
yang barangkali sering dianggap sepele. Nyatanya, tak jarang orang berusaha
melukai diri, menarik diri dari lingkungan, bahkan berupaya mengakhiri hidup,
ya, karena masalah masalah sepele yang terus dikumpulkan, disimpan, dipikirkan,
dan dirasakan. Itulah mengapa, ada banyak tugas yang wajib kita coba
selesaikan. Bukan hanya soal menciptakan rasa aman terhadap diri sendiri dan
orang lain, tetapi juga belajar mengelola diri ketika tertekan. Yang tentunya
jauh lebih penting lagi adalah kita juga perlu belajar tentang memahami kekuatan
orang lain dengan memberinya ruang untuk bercerita, memberikan kesempatan dia
untuk didengarkan, apa bila dia membutuhkannya.
Dari sudut pandang pendidikan, kasus
Hannah dan Amelia menjadi catatan penting perihal prioritas guru yang bukan
hanya mengajar. Hannah merasa kehilangan rasa aman, salah satunya, karena
seorang guru membacakan puisi anonim yang dimuat di majalah sekolah. Sialnya,
puisi itu adalah karya Hannah dan isinya tentang perasaan dan kegelisahannya. Ryan,
seorang teman sekelas Hannah yang merupakan pengurus majalah tersebut, adalah
orang yang diam-diam menyobek kertas bertuliskan puisi tersebut dari buku
Hannah. Ketika dibacakan, hampir seluruh siswa di kelas tertawa dan menganggap
isi puisi itu hanyalah drama dan terlalu dilebih-lebihkan. Ya, di situlah, satu
dari 13 penyebab Hannah memutuskan untuk bunuh diri. Bagian cerita ini
mengingatkan kita bahwa apapun yang tersaji, dari siapapun, budaya apresiasi
harusnya muncul penuh kesadaran dengan mencoba memahami kemungkinan kondisi
apapun yang dapat terjadi pada seseorang. Guru tentunya dapat menjadi
fasilitator dalam kondisi serupa. Setidaknya dengan mencoba memahami bagaimana
pola pikir siswanya, dan mencoba menjalin komunikasi yang baik dan terbuka agar
tidak ada siswa yang merasa ditekan, diintimidasi, atau malah bahkan
disingkirkan.
Banyak yang sering bilang, bagaimana
cara guru dapat memahami dan meluangkan waktu untuk semua siswa? Jumlah siswanya
sangat banyak dan kepentingan guru bukan hanya soal siswanya. Nah, pada bagian
ini, peran sekolah menjadi kuncinya. Perlu adanya kesadaran tentang pentingnya menciptakan
ruang kelas yang diisi dengan jumlah siswa yang ideal agar guru tidak kesulitan
dalam memahami dan berkomunikasi dengan siswa. Menurut data di Kemdikbud RI, hanya 27,3% dari total sekolah yang ada di seluruh Indonesia, yang memenuhi
standar rasio jumlah murid pada tiap kelas. Artinya, masih sangat banyak kelas
yang jumlah siswanya terlalu banyak. Hal ini, bukan hanya soal kurangnya
fasilitas ruang kelas, tetapi juga dapat terjadi karena kurangnya jumlah SDM
guru. Hal ini pula yang kemudian menyebabkan guru dan wali murid tidak dapat
menjalin komunikasi secara intensif. Padahal, hal ini penting bukan hanya agar
dapat mengontrol kualitas secara akademik, tetapi juga memfasilitasi siswa agar
dapat menerima rasa nyaman dan aman.
Sekali lagi, dengan berbagai kasus
bunuh diri yang terjadi pada anak muda, kita disadarkan bahwa yang dikerjakan
di bidang pendidikan bukan hanya soal kualitas SDM dari sudut pandang
intelektual, tetapi juga melindung dan memastikan manusia dapat bergerak dengan
aman tanpa harus merasa tertekan, diremehkan, diasingkan, dan hal lain yang
dapat membuat seseorang bukan hanya depresi tetapi juga merasa terancam. Sejatinya,
yang bertanggungjawab pada bidang pendidikan bukan hanya sekolah dan orang tua,
tetapi kita semua. Kita, yang masih sering sibuk muncul untuk membalas daripada
mencoba memahami dan belajar agar dapat menjadi manusia yang mau hadir penuh
kasih, bukan penuh cibir.
Komentar
Posting Komentar