Hari ini saya menghadiri 3 dari sekian
banyak rangkaian acara Pesta Pendidikan #pekanyogya 2017 yang dihadiri banyak guru,
orang tua, dan komunitas pendidikan. Sejak pagi kami diajak mendengarkan
pengalaman dan diskusi bersama tentang hal-hal yang selama ini barangkali masih
tabu di lingkungan pendidikan formal. Mulai dari anak Indonesia yang (katanya)
bahagia tetapi tak berprestasi, homeschooling
dari kacamata kebijakan pemerintah, hingga jagongan homeschooling yang menghadirkan para homeschooler (anak yang menempuh homeschooling) dan para Ayah homeschooler.
Bertemu dengan Bu Waya dari SALAM
(Sanggar Anak Alam), Bu Novi yang menangani kasus klitih di Jogja, Bu Heni yang sering menjadi fasilitator pendidikan untuk
guru di Indonesia, Pak Didik dari Dinas pendidikan,
Pak Susianto dari Kemendikbud yang justru memilih homeschooling untuk pendidikan anaknya, Mas Reza yang memilih resign
dari bank tempatnya bekerja demi memfasilitasi dan menemani anak untuk homeschooling, hingga
Andaru yang sekarang kuliah di ISI dan dulunya homeschooler.
Ada pula Mas Reza dan anaknya,
Aza, yang juga homeschooler. Muncul
banyak pertanyaan, "Gimana kehidupan sosial homeschooler? Kan mereka belajar sendirian." Ternyata
homeschooler justru lebih awal belajar membangun komunitas dari pada siswa sekolah formal. Aza bukan hanya punya teman sesama homeschooler, tetapi ia juga sudah bergabung dengan komunitas komunitas di bidang yang ia sukai. Ia suka fotografi dan videografi, bercita-cita menjadi sinematografer. Usianya berapa? Baru 12 tahun.
homeschooler justru lebih awal belajar membangun komunitas dari pada siswa sekolah formal. Aza bukan hanya punya teman sesama homeschooler, tetapi ia juga sudah bergabung dengan komunitas komunitas di bidang yang ia sukai. Ia suka fotografi dan videografi, bercita-cita menjadi sinematografer. Usianya berapa? Baru 12 tahun.
Sejak awal menempuh homeschooling mereka memang difasilitasi
untuk belajar sesuai passion dan
tidak memermasalahkan bila mengalami dinamika perubahan minat. Dinamika ini
justru dihargai sebab dipercaya sebagai proses penemuan jati diri yang nantinya
akan memermudah mereka menentukan bidang apa yang ingin digeluti. Rasa haru
juga bertubi-tubi melingkupi saya. Saya terharu karena
masih ada sosok ayah seperti Mas Reza, yang mau menemani anaknya belajar,mampu
menjelaskan proses&kemampuan anaknya. Saya lantas berpikir, berapa persen
ayah di Indonesia yang mampu menjelaskan hal detail tentang pendidikan anaknya?
Berapa persen ayah di Indonesia yang mau menemani anaknya belajar?
Selain
Mas Reza, ada juga Pak Susianto yang bekerja di Kemendikbud RI tetapi justru
memilih homeschooling untuk anaknya.
Alasannya? Pak Susilo ingin memastikan anaknya belajar tentang lifeskill dan social-skill, mulai dari kemampuan menyelesaikan pekerjaan rumah seperti
menyapu, membetulkan keran, dan lainnya, hingga memastikan bahwa anaknya mampu
bersosialisasi antar usia dengan fasih berbahasa krama inggil. Tak cukup sampai
di situ. Tiap kali tugas berkeliling ke sekolah, Pak Susianto selalu menemukan
toilet sekolah yang kotor. Padahal, di rumah, beliau berupaya menanamkan nilai
kebersihan. Bila anaknya harus bersekolah secara formal dengan kondisi seperti
ini, akan ada pergeseran nilai besar-besaran antara pendidikan di sekolah dan
pendidikan yang ditanamkan di rumah. Satu hal yang lebih miris lagi, yang
membuat Pak Susianto mantap memilih homeschooling
untuk anaknya. Ketika beliau bertugas memberikan materi literasi untuk guru
RSBI di sebuah sekolah, beliau menemukan bahwa rata-rata guru tersebut tidak
sering membaca buku. Rata-rata, mereka terakhir membaca buku setahun yang lalu,
bahkan ada juga yang mengaku bahwa membaca buku terakhir kali saat kuliah. Bila
hari ini minat membaca di Indonesia begitu rendah, kita sekarang tahu dari mana
asalnya. Bagaimana kita mau membuat anak suka membaca bila kita sebagai guru
tak gemar membaca? Sekali lagi, ini tamparan untuk dunia pendidikan formal.
Muncul pula pertanyaan, "Benarkah
anak Indonesia bahagia? Lalu mengapa mereka tidak berprestasi?". Ketika siswa ditanya,
"Kamu seneng nggak pergi ke sekolah?" Rata-rata mereka menjawab,
"Senang!". Ketika ditanya, "Seneng kenapa?" Ternyata mereka
senang bukan karena belajar di sekolah, tapi karena bisa ketemu&ngobrol
dengan teman-teman. Muncul pertanyaan lagi. Jangan-jangan, pendidikan formal
kita yang tidak mampu membahagiakan siswa? Seharian tadi, saya melihat raut
muka para guru yang barangkali merasa bahwa yang kami ikuti sejak pagi adalah
tamparan keras bagi dunia pendidikan, khususnya pendidikan formal. Dari sudut
pandang psikologi, ternyata makna kebahagiaan bukan ketika seseorang mencapai
sesuatu, tetapi ketika seseorang merasa bermanfaat untuk orang lain. Ternyata,
ketika kita merasa puas dengan capaian kita, itu baru sebatas kesenangan. Bukan
kebahagiaan. Bedanya apa? Ada banyak hal yang membedakannya. Namun yang jelas,
kesenangan adalah kepuasan jangka pendek. Sedangkan kebahagiaan adalah kondisi
yang membuat kita paham tentang makna, dan mensyukurinya.
Selama
ini, bukan hanya siswa yang tidak bahagia. Banyak guru yang ternyata juga
merasa tidak bahagia. Kenapa? Karena proses pendidikan kita fokus pada
standarisasi yang dipukul rata. Barangkali kita bisa bilang bahwa hari ini,
ujian nasional tidak dijadikan patokan utama sebuah kelulusan. Iya. Sayangnya,
tetap diperlombakan. Sekolah sekolah masih khawatir bila nilai ujian siswanya
tidak lebih bagus dari sekolah lain. Padahal value belajar bukanlah siswa yang paling unggul, tetapi siswa yang
paham apa keunggulan dirinya serta mampu mengembangkannya.
Ada hal lain yang perlu menjadi sorotan juga pada proses pendidikan formal. Selama ini kita menuntut anak dapat melakukan banyak hal. Mulai dari menghapalkan hingga berkreasi yang masuk ke higher order thinking atau kemampuan berpikir tingkat tinggi. Padahal, bila kita perhatikan praktik pendidikan di sekolah masih fokus pada menghapalkan, memahami, dan mengimplementasikan, yang masuk pada kategori lower order thinking atau kemampuan berpikir tingkat rendah. Ini menunjukkan
bahwa sebetulnya pemerintah bukan hanya perlu mengubah evaluasi
pendidikan, tetapi juga meninjau kembali standar pengukuran kualitas sebuah
institusi. Pemerintah perlu lebih memberi ruang kegiatan non klasikal yang
tujuannya membantu anak menemukan minat dan bakatnya dan juga punya ruang untuk berkreasi, bukan hanya mengimplementasikan pelajaran. Yang tak kalah penting,
perlu ada juga kegiatan yang sifatnya project based learning secara tim, agar
siswa mampu belajar menemukan sesuatu dengan bekerja sama.
Yang
hari ini harus ditingkatkan dalam pendidikan bukan kompetisi, tetapi
kolaborasi. Termasuk kolaborasi orang tua dengan anaknya dalam belajar,
kolaborasi siswa antar sekolah dalam berkarya, dan tentu kolaborasi guru dan
siswa agar tak ada lagi tekanan dalam belajar dan tercipta kebahagiaan dan
peluang lebih besar tuk berprestasi sesuai kekuatan dan kemampuan anak. Hal ini yang diterapkan oleh Sanggar Anak Salam (SALAM).
Anak bukan hanya diberikan materi, tetapi juga diajak melakukan riset di
lingkungan sekitar dan diberikan waktu mempresentasikan hasil penemuannya. Dari
sini, anak akan paham bukan hanya karena mendengarkan, tetapi karena melakukan.
Memfasilitasi anak untuk menyelesaikan pekerjaan secara tim juga akan membantu
anak menemukan nilai kerjasama dalam hidup. Ya, anak-anak kita tak butuh
persaingan. Mereka butuh diajak menghadapi dan menyelesaikan masalah dengan
kemampuan dan kekuatannya. Pertanyaan terakhir yang harus kita renungkan dan
cari jawabannya: Bagaimana anak mampu menemukan potensi dan kekuatannya, bila
waktu mereka habis untuk tugas dan tekanan yang seringkali tak munculkan
kebahagiaan? Bagaimana anak mampu membagikan manfaat untuk orang lain sebagai
aktualisasi kehidupan,bila mereka hanya diberikan bahan begitu banyak tetapi tak
diberikan ruang untuk memahami apa yang mereka butuhkan?
Ini bukan berarti saya jadi menganggap bahwa sekolah itu tak penting. Homeschooling juga tidak hadir untuk
menjadi kompetitor sekolah, tetapi menjawab kebutuhan yang belum didapatkan
anak di sekolah. Obrolan hari ini justru menjadi bahan refleksi bahwa yang
harus terus ditingkatkan bukan hanya kualitas siswa, tetapi kemauan dan
kebarian berevolusi secara menyeluruh. Saya harus katakan, bila pendidikan
formal hari ini tidak mau berubah secara menyeluruh, ke depan orang akan lebih
memilih menempuh pendidikan non formal dan informal, karena dunia hari ini
bukan lagi butuhkan ijazah. Dunia membutuhkan kemampuan dan kemauan berbagi
manfaat untuk banyak orang.
Komentar
Posting Komentar