Satu jam lagi,
terhitung sejak saya menuliskan ini pukul 23.07 WIB, kita menyambut tanggal 19
April 2017. Satu hari yang sejak tahun lalu sudah sibuk dibicarakan, sibuk
diupayakan atasnama rakyat lewat pemilihan kepala daerah (pilkada). Bila saat
pemilihan presiden 2014 kita masih sibuk pada ranah kekhawatiran minimnya
pemilih pemula, hari ini kita justru bergejolak dengan makin banyaknya anak
muda kontributif yang mau menjadi bagian penting di fase politik ini. Entah
dengan mau membicarakan calon pemimpinnya, atau bahkan yang memilih untuk
berperan sebagai tim sukses di kubu calon pemimpin yang diyakini. Ada hal
mendasar yang perlu kita banggakan. Kita semua mulai dewasa karena mau memilih
atas dasar keyakinan pada track record
individu paslon hingga jejak rekam kinerjanya di manapun.
Sayangnya, pengelolaan
energi dalam menyambut pemimpin pemimpin baru atau pemimpin lama yang dianggap
amanah dan akan melanjutkan perjuangannya, seringkali habis untuk saling
membalas setelah berupaya memahami. Pada akhirnya kita harus merelakan banyak
ruang reflektif dan menghibur, berubah menjadi wadah yang membosankan. Iya,
membosankan karena upaya memperbaiki pemerintahan justru diawali dengan putusnya
pertemanan, pecahnya organisasi dan pergerakan. Tak kalah penting, budaya
mengotak-kotakkan yang selama ini (katanya) ingin kita ubah, hari ini justru
kita ciptakan lebih banyak.
Tiap kali ada kasus
baru yang penting, tetapi munculnya bertepatan dengan momen politik, yang sibuk
dibangun adalah opini soal pengalihan isu. Padahal, sebetulnya kita yang telah
teralihkan dari kasus penting. Daya dan upaya banyak orang sibuk dihabiskan
untuk memenangkan.
“Ini penting karena
soal keberpihakan pada rakyat.” Begitu katanya.
Iya, pemimpin untuk
rakyat memang bukan hal tak penting. Namun, kita jadi tak punya waktu kelola
diri dan merawat kecintaan paling dekat. Waktu dan tenaga tak lagi seimbang. Kepekaan
sosial tergantikan dengan asumsi nuansa politik sebagai alasan melakukan
kebaikan. Kita lupa apa itu teman, karena bukan hanya berbeda pilihan, tetapi
juga tak suka pada cara menyampaikan. Jadi, kapan kita sebagai rakyat, punya
keinginan dan membuat ruang untuk menjaga dan tak mudah membiarkan kehilangan? Memang
kita kehilangan siapa? Kehilangan pemahaman soal keseimbangan, kehilangan
kendali, kehilangan rasa mengasihi yang tergantikan dengan saing-menyaingi.
Selamat menyambut
periode kepemimpinan yang baru. Bila kemarin banyak yang kita hilangkan dengan
ringan, semoga nantinya kita kembali temukan dan tetap yakin bahwa kehidupan
dibangun dari permintaan maaf, terima kasih, dan kemauan berjalan beriringan.
Komentar
Posting Komentar