Tujuh
tahun lalu, saya pernah menangis dengan suara lantang (bukan teriakan) di depan
teman-teman sekelas saya. Saya ingat betul, waktu itu saya bilang,
“Kalian
boleh menganggapku yang paling dewasa di sini, tapi ingatlah kita tetap
seumuran. Aku tetaplah anak berumur 17 tahun seperti kalian. Jadi, ingatkan
saja kalau memang menurut kalian salah. Jangan hanya simpan apalagi bicarakan
sendiri di belakangku.”
Ucap
bercampur desah dan tangis, sedangkan di hadapan saya ada dua puluh satu orang
yang sibuk dengan caranya masing-masing. Ada yang menatap saya dengan nanar,
ada pula yang memilih menunduk sambil mengatur napas, ada pula yang sibuk
bermain ponsel. Selayaknya permasalahan pertemanan anak SMA, kami sedang
terpecah menjadi beberapa kelompok. Geng, begitu bahasa kerennya. Semua orang
berharap saya bisa jadi penengah, melebur kelompok kelompok itu, seperti biasanya.
Namun, kali itu, ternyata menurut mereka saya justru memihak salah satu
kelompok saja.
Saya
pun bertanya-tanya, kenapa orang memilih diam dan menggunjing, padahal mereka
punya jarak yang begitu dekat dan bisa langsung mengingatkan? Kenapa orang
cenderung tidak terima ketika ada seseorang yang selama ini dianggap sebagai
contoh, kemudian tiba-tiba melakukan hal yang menurut mereka salah? Sedihnya
lagi, tanpa mereka konfirmasi terlebih dahulu. Tanpa mereka mau tahu sebetulnya
apa yang sedang dan ingin saya lakukan.
Sejak
itu saya belajar bahwa tiap perilaku hingga pemikiran orang tak dapat berhenti
pada ranah benar dan salah. Ketika kita memuji karena menurut kita benar,
kemudian saat kita menghujat dan marah karena menurut kita salah, kita merasa
sudah selesai. Merasa selesai karena kita sudah menyampaikan yang kita
inginkan. Lebih dalam lagi, kita jarang (atau jangan-jangan tidak pernah)
memikirkan bagaimana kondisi orang yang sedang kita bicarakan dan komentari.
Tidak ada kata ampun baginya, dan bila terjadi apa-apa padanya, adalah murni
karena kesalahannya sendiri.
Beberapa
tahun kemudian, saya mengalami hal serupa. Dihujat karena tulisan saya sendiri
yang berjudul “Lady Gaga, Riwayatmu Kini”, hanya karena banyak pembaca yang
mengasumsikan bahwa saya melecehkan lagu Bengawan Solo karya Gesang. Well, saya
nggak ngerti
salahnya sebelah mana. Namun, setelah tulisan itu sempat menjadi
trending topic di okezone.com justru banyak tulisan dengan judul serupan.
Dan...., nggak ada yang protes. Kala itu saya betul-betul kecewa karena orang
membaca hanya untuk melihat redaksi, bukan maknanya. Sekalipun kalimat yang
dipakai bukanlah hal kasar, tapi, salah tetaplah salah. Banyak yang memilih
reaktif, bukan partisipatif. Berniat membalas dan menyalahkan, tapi tak mau
coba menelaah lebih dalam.
Nggak
berhenti sampai situ, saya pernah juga dituduh membuat pembenaran dari sebuah
tuduhan, yang saya sendiri nggak paham kenapa mereka menuduh saya. Lagi-lagi
ini soal karya sendiri, yang pernah ramai di forum diskusi Goodreads Indonesia.
Waktu itu saya sampai harus membuat tulisan berisi konfirmasi karena saya
memang tidak pernah aktif di Goodreads.
Kala
itu, saya bukan lagi kecewa, tapi justru bertanya pada diri saya sendiri, “Emang
keliatannya gue sejahat dan sepicik itu, ya? Kepikiran aja enggak, lho.” Saking
saya sudah tak mengerti lagi bagaimana sekelompok orang bisa dengan mudah
membuat sebuah pemahaman, berkumpul untuk menuduh dan menyalahkan.
Dalam
kehidupan media sosial, hal ini tentu terus saja terjadi. Saya gimana? Ya nggak
kaget. Nggak panik lagi. Udah biasa dengan respon yang reaktif dan nggak mau
menanggapinya dengan reaktif juga.
Orang-orang
yang memilih begini, barangkali tidak pernah berpikir bagaimana kondisi
psikologis seseorang yang sedang mereka bicarakan. Nggak semua orang bisa kuat
dan tahan dengan cercaan yang bertubi-tubi, yang hadirnya secara bersamaan.
Inget nggak, tidak sedikit orang yang nekat bunuh diri, bukan karena kondisi
pribadinya yang mengkhawatirkan, tapi karena respon orang-orang disekitarnya
tidak dapat ia tumpuk sendiri. Tidak kuat mendengarnya dan merasa tak punya
tempat yang mau mendengarkan sudut pandangnya.
Kita
semua paham bahwa tiap orang bertanggungjawab pada yang ditulis. Namun, cara
menegur dan menyampaikan pendapat juga tak perlu dengan reaktif begitu saja.
Bukan hal asing juga kok, kalau kita tidak sependapat dengan sebuah tulisan.
Namun kita juga perlu sadar bahwa tidak semua orang satu suara dengan kita.
Pemahaman ini pula yang terus saya bangun ketika hendak menulis atau mengutarakan
sesuatu. Tidak semua hal yang saya ucapkan dan tuliskan akan disepakati semua
orang, dan memang tidak untuk disepakati semua orang.
Ini
juga yang terjadi pada Afi Nihaya Faradisa, remaja yang sedang ramai
dibicarakan karena tulisannya yang banyak ditanggapi secara pro dan kontra.
Semua orang sebuk memuji dan menghujat. Sampai situ saja. Awalnya mungkin tidak
ada yang berpikir tentang kondisi psikologis Afi ketika menerima semua
tanggapan itu. Semuanya hanya berpikir
“Ia memang harus bertanggungjawab pada
apa yang ia tuliskan. Kalau dipuji ya bonus, kalau dihujat ya risiko.”
Beberapa
waktu, saya sempat kirimkan pesan pada Afi, yang intinya, dia tak perlu
menyimpan keresahannya sendiri. Nggak perlu dipikirkan sendiri karena memang
ada kalanya kita butuh cerita, memastikan bahwa kita memang tidak sendirian.
Waktu itu Afi membalas pesan saya dan sampaikan bahwa ada ribuan pesan yang ia
terima dan tak ia tanggapi. Lalu saya bilang, memang nggak semuanya perlu
ditanggapi dan dikonfirmasi. Justu, seringkali, hal yang paling melelahkan
memang mengonfirmasi dan menanggapi. It’s okey, ada kalanya kita memang butuh ‘jeda’.
Lantas
bagaimana dengan hujatan yang sudah bernada ancaman? Pada awalnya, bila Afi
reaktif, barangkali ia bisa saja menanggapi dengan spontan dan panik. Dipikirkan sendiri,
karena ketika ia bercerita, tak ada jaminan orang lain mau mendengarkan dan
sependapat dengannya. Padahal akan selalu ada fase orang ingin didengarkan
saja, punya tempat berkeluh kesah. Barangkali kita tidak pernah berpikir bahwa
Afi juga punya fase itu. Sedihnya, yang sibuk menghujat dan memuji itu ya orang-orang
yang lebih dewasa darinya, secara usia.
In the end, saya ingin bilang bahwa
kita memang tidak hidup untuk selalu sepakat dan selalu bersuara. Nggak semua
hal perlu kita tanggapi, nggak semua hal harus disepakati. Beda sudut pandang
itu tidak masalah, tapi nggak perlu kekeuh agar pendapatnya didengarkan dan
disepakati semua orang. Oh ya, mungkin, kita perlu lebih banyak mendengarkan.
Karena memang, kemampuan yang harus digali bukan hanya kemampuan menyampaikan
pendapat, tapi juga mendengarkannya dengan seksama.
Komentar
Posting Komentar