Memilih.
Satu kata yang tiap saat ada di kehidupan kita. Kita boleh memilih pintu mana
pun yang ingin kita masuki. Memilih siapa pun yang akan menjadi sosok
berpengaruh di dunia kita. Memilih apa pun yang hendak kita lalui. Hak untuk
memilih ini kemudian sering kita maknai dengan batasan batasan dalam
berinteraksi antar makhluk. Kita membangun standar sendiri tentang sejauh apa
kita boleh berdialog dengan si A, sesering apa kita datang ke sebuah tempat,
bahkan kapan kita harus berhenti melakukan sesuatu.
Barangkali
kita semua sudah terlalu bosan bicara soal niat, sebab terlalu sering
dibicarakan tapi esensinya sama sekali tak berubah. Niat itu harus terus
diperbaiki. Begitu saja yang sering dibahas. Padahal, dalam memilih ruang,
orang, dan segala hal yang akan kita lakukan, bukan hanya niat yang harus
diperhatikan. Ada alasan dan prinsip yang tidak mungkin dipisahkan dari
pembahasan. Bila selama ini kita sibuk gembar-gembor soal dasar, ya, alasan ini
yang sebetulnya kita maksud dasar. Mengapa kita melakukannya? Pertanyaan ini
bukan agar segala yang kita lakukan dapat diterima orang lain. Sekadar
memastikan bahwa kita tak melakukan sesuatu tanpa sebab.
Dulu,
bagi saya, alasan ini penting dibangun agar kita bisa menjelaskan pada orang
lain. Makin hari, ketika saya pada akhirnya harus berinteraksi dengan lebih banyak
orang yang berbeda sudut dan jalan, saya justru memahami bahwa alasan ini
ternyata untuk melindungi diri, bahkan tidak harus logis. Kita tidak dapat
memungkiri bahwa seringkali kita hanya ingin melakukan perbuatan, tapi nggak
tahu kenapa harus melakukannya, apalagi soal faedah. Oke, barangkali bukan
kita. Saya juga nggak bisa memukul rata. Kita coba ganti, begini: akan selalu
ada orang yang ingin melakukan sesuatu tanpa alasan yang logis. Mereka
melakukan sesuatu untuk melindungi diri agar tak mencari pelarian ke hal yang barangkali
akan melukai orang lain. At the end,
mereka cuma nyeplos aja. Sesaat doang, ternyata.
Contohnya:
Di sebuah kesempatan yang bahkan nggak saya ketahui alasan terjadinya, saya
dipertemukan dengan orang yang tiba-tiba curhat panjang lebar soal hidupnya
(Soal ini, barangkali emang karena nada bicara saya kayak tong sampah. Siap
menerima ‘sisa’ yang harus dikeluarkan. Dibuang). Kira-kira, mereka ini curhat untuk
apa? Dapet solusi? Ternyata nggak selalu. Ada kalanya mereka cuma butuh
didengerin aja. Bahasa halu-nya, butuh telinga dan pundak. Nggak butuh nasihat
dan ceramah. Bahkan, misalnya saya bertemu dengan orang yang bilang, “Ada
kalanya aku pingin orang-orang itu pergi aja sekalian, sih. Daripada sok hadir
tapi buat mencibir,” atau “Pengen bunuh orang deh rasanya,”. Terima nggak? Takut
nggak? Pernah nemu nggak yang kayak gini? Kalau belum, coba ngobrol dengan
teman yang siklus dan suasana hidupnya berbalik dengan hidup kita. Sekadar dengarkan
ia bicara, dan jadi bahan renungan.
“Nggak
takut kah kalau dia malah melukai kita?”
Harusnya
enggak, ya, kalau kita bisa analisis apa yang sedang ia butuhkan. Balik lagi
soal memilih. Kita tetep bisa milih, mana yang harus kita dengerin, dan mana
yang kalau kita turuti justru akan membahayakan diri kita.
Ribet,
ya?
Nggak
juga. Cuma butuh latihan dan belajar menerima yang beda aja. Hehe J
Dulu,
bagi saya, fenomena ini nggak bisa diterima. Yang namanya manusia ya harus tahu
kenapa ia melakukan sesuatu. Minimal biar bisa jawab ketika ditanya dan bisa
diterima orang lain. Termasuk soal hal yang buat kita termasuk penyimpangan
sosial. Pada daratan hidup yang baik-baik saja, kita kenal betul dengan adanya
kontrol diri dan perasaaan yang ada kalanya harus disimpan sendiri. Namun,
ternyata, ada bagian di dunia ini yang harus diberikan ruang untuk bicarakan
hal yang memang ingin atau bahkan harus disampaikan, biar lega. Biar nggak
mengendap dalam diri. Nggak jarang, memang nggak ada manfaatnya buat kita.Tapi
dia harus sampaikan dan ungkapkan agar tidak ada endapan perasaan pada diri
yang justru akan tumbuh dan berkembang menjadi stres. Emang bisa hal kayak gini
kejadian? Bisa banget.
Lalu,
kalau mereka sudah ungkapkan, apa kita harus tahu tentang alasannya? Nggak
selalu. Seperti yang saya sampaikan, dengerin aja. Ada kalanya mereka butuh
didengarkan. Bukan dinasehati atau diberi saran. Apalagi didesak untuk
sampaikan niat dan tujuannya. Akan selalu ada orang-orang yang butuh melakukan
hal seperti ini, butuh didengarkan, karena ketika ia menyimpannya sendiri, itu
justru akan mendorong ia tuk melukai dirinya sendiri. Percaya nggak, ada orang yang memilih bunuh diri karena
dia nggak punya ruang untuk menyampaikan perasaan atau hal sepele yang sekian lama ia timbun. Bisa kayak gitu. Ini nggak logis, ya?
dia nggak punya ruang untuk menyampaikan perasaan atau hal sepele yang sekian lama ia timbun. Bisa kayak gitu. Ini nggak logis, ya?
Ya,
emang hidup ini nggak semuanya logis. Makanya kita perlu juga pakai hati untuk
merasakan, bukan hanya berpikir. Jangan takut untuk ikut jadi nggak bener,
ketika kita ada di dekat hal yang menurut kita menyimpang. Ini soal penerimaan
dan pemahaman aja, bukan tuntutan untuk ikutan. Makanya di awal saya sebut soal
prinsip. Sebab ini yang sebetulnya perlu dibangun dan dipelihara. Namun, kalau
kita menemukan hal yang beda atau buat kita salah, jangan menghindar. Lihat,
dengarkan. Boleh percaya, boleh tidak. Cara seperti ini yang akan bantu kita
untuk terus membangun syukur tanpa menuntut orang lain yang berbeda dari kita
harus pergi.
Kenapa kita harus mikirin hal ini, sih? Kenapa musti perduli sama mereka, sedangkan kita sendiri harus terus menyaring mana hal yang perlu ada di hidup kita?
Well, makin sering kita menyaring, yang masuk akan makin sedikit.
Sedikit tapi berkualitas, kan?
Berkualitas itu bukan soal mau menerima yang sama dengan kita, tapi mau menerima yang beda, belajar darinya, agar tidak ada orang yang harus terluka. Saya nggak bisa bayangin aja, sih, kalau mereka yang harus dapet ruang ini kita hindari, kita bukan cuma nggak belajar lebih luas, tapi kita juga sedang membiarkan orang lain menumpuk luka sendirian. Iya, luka yang selama ini kalau kita baca berita bunuh diri, kita cuma bisa bilang prihatin dan komentarin orang tuanya. Jadi sebetulnya kita udah sadar atau belum kalau di sekitar kita juga ada potensi serupa, makanya harus kita kasih ruang walaupun beda dari kita. Sadar nggak, kalau kita cuma mau terima yang sejalan sama kita, yang ada kita sedang ada di lingkaran orang-orang yang membiarkan lebih banyak manusia stres.
Ya ampun, selo amat mikirin hidup orang.
Kalau kamu pikir kita hidup cuma buat mikirin faedah ke diri sendri, jangan sebut diri kita makhluk sosial. Ini bukan soal kamu akan ketularan dan ikutan, tapi soal penerimaan. Sekali lagi, soal ruang.
Pertanyaan yang perlu kita renungkan: Selama ini, sudahkah kita memberi ruang untuk yang berbeda?
Kenapa kita harus mikirin hal ini, sih? Kenapa musti perduli sama mereka, sedangkan kita sendiri harus terus menyaring mana hal yang perlu ada di hidup kita?
Well, makin sering kita menyaring, yang masuk akan makin sedikit.
Sedikit tapi berkualitas, kan?
Berkualitas itu bukan soal mau menerima yang sama dengan kita, tapi mau menerima yang beda, belajar darinya, agar tidak ada orang yang harus terluka. Saya nggak bisa bayangin aja, sih, kalau mereka yang harus dapet ruang ini kita hindari, kita bukan cuma nggak belajar lebih luas, tapi kita juga sedang membiarkan orang lain menumpuk luka sendirian. Iya, luka yang selama ini kalau kita baca berita bunuh diri, kita cuma bisa bilang prihatin dan komentarin orang tuanya. Jadi sebetulnya kita udah sadar atau belum kalau di sekitar kita juga ada potensi serupa, makanya harus kita kasih ruang walaupun beda dari kita. Sadar nggak, kalau kita cuma mau terima yang sejalan sama kita, yang ada kita sedang ada di lingkaran orang-orang yang membiarkan lebih banyak manusia stres.
Ya ampun, selo amat mikirin hidup orang.
Kalau kamu pikir kita hidup cuma buat mikirin faedah ke diri sendri, jangan sebut diri kita makhluk sosial. Ini bukan soal kamu akan ketularan dan ikutan, tapi soal penerimaan. Sekali lagi, soal ruang.
Pertanyaan yang perlu kita renungkan: Selama ini, sudahkah kita memberi ruang untuk yang berbeda?
Komentar
Posting Komentar