Langsung ke konten utama

Saya dan Kamu Tidak Pernah Sendirian, Sekalipun Jalan itu Nampak Sepi



Pagi ini adalah tanggal 2 di bulan yang baru, November, bulan kedua saya bekerja di tempat yang sudah lama saya kenal tapi baru saya pijak. Setelah sejak tahun kemarin saya sering diminta menjadi mentor untuk pelatihan menulis fiksi oleh sebuah perusahaan bernama Inspirator Academy, sejak 9 Oktober saya diamanahi untuk ikut mengelola salah satu cabang dari perusahaan tersebut. Sebuah perusahaan yang banyak menyediakan pelatihan menulis, public speaking, hingga membantu banyak perusahaan soal corporate branding. Intinya, perusahaan ini bergerak di bidang pendidikan juga, tapi pendidikan non formal. Kami punya ribuan alumni yang sudah berhasil konsisten menulis bahkan menerbitkan buku, dan ribuan mentee yang masih terus menjalani pendidikan menulis.
Nggak sedikit orang yang kaget atau bahkan kecewa dengan keputusan ini, karena semua orang berpikir saya akan jadi dosen. Oh, sorry, lebih tepatnya segera jadi dosen setelah lulus pendidikan pascasarjanan. Namun, saya yakin dengan pilihan ini bukan hanya karena perusahaan ini bergerak di bidang yang saya cintai; membaca, menulis, dan berbicara, tetapi juga karena orang tua dan para guru saya memberikan restu serta ridho. Ketika tawaran ini diberikan pada saya, saya seperti tertampar, makin menyadari bahwa dunia pendidikan memang tak hanya sekolah dan keluarga. Orang tak hanya butuh dibantu untuk mengembangkan potensi akademik, dan ada banyak orang dengan potensi non akademik yang juga harus difasilitasi, ditemani belajar. And I feel that.
Saat menuliskan ini, saya sedang mensyukuri banyak hal dan ada tumpukan air mata yang tertahan agar tak membasahi pipi. Pekan depan, buku ketiga yang merupakan antologi pertama yang saya tulis, akan segera terbit. Buku keempat yang juga antologi akan segera open preorder, serta ada beberapa buku selanjutnya yang masih disunting dan bahkan harus segera ditulis. Hanya sekitar tiga bulan, beberapa buku itu betul-betul dikerjakan sampai selesai. Dulu saya nggak pernah punya target dalam menulis dan menerbitkan buku, tapi sekarang semuanya harus diatur agar dapat selesai. Saya adalah salah satu orang yang kekeuh nggak pernah mau menjadikan passion sebagai pekerjaan utama. Bagi saya, kecintaan pada sebuah bidang harus dipelihara dengan baik dan dijauhkan dari oportunis, terutama dalam mencari nafkah. Lakukan karena memang suka, bukan untuk dapat uang. Namun hari ini makna itu makin berkembang. Kenapa nggak niat bekerjanya aja yang diperbaiki? Bekerja untuk memelihara nilai hidup dan membagikan manfaat, memberdayakan diri dan orang lain, bukan sekadar mendapatkan penghasilan.
Sekarang, tiap hari saya harus membaca banyak tulisan yang akan tayang di media, membaca banyak naskah yang sedang ditulis, bahkan menyunting naskah yang akan diterbitkan. Lagi-lagi, saya nggak pernah membayangkan bahwa hidup saya akan ada di lingkaran ini. Atau kalaupun harus ada di titik ini, kayaknya nggak sekarang. Terlalu cepat rasanya. Yang saya syukuri hari ini bukan soal pencapaian, tapi karena menyadari bahwa masih banyak orang yang mau belajar menulis. Dalam bekerja, naskah yang saya baca dan kawal bukan dari penulis ternama, tapi dari orang-orang yang mau membagikan manfaat lewat tulisan. Mereka sadar bahwa masih banyak hal yang harus diperbaiki, dan mau mati-matian membangun diri.
Ketika saya harus berhadapan dengan mereka, membaca tulisannya dari hari pertama hingga ke sekian, dari situ saya melihat wajah-wajah literasi Indonesia yang makin menyala, tumbuh menyemesta. Nggak usah berpikir bahwa para pembelajar itu adalah orang-orang yang nggak punya pekerjaan atau bahkan nggak punya kerjaan berfaedah untuk mengisi waktu hidup. Listen to me, saya bahkan pernah menemani seorang associate director perusahaan besar di Indonesia. Beliau belajar nulis apa? Nulis novel.
Saat itu, saya betul-betul tertampar dan langsung mem-black list alasan “Sibuk dan nggak sempat menulis” dari siapapun, dan harusnya itu juga saya terapkan ke diri saya sendiri. Ada banyak orang yang sebetulnya mau, tapi belum punya kemampuan. Mereka nggak ragu belajar agar kemauannya terlaksana. Sayangnya, nggak sedikit juga orang yang punya kemampuan, tapi kemauannya kalah dengan rasa tak yakin yang secara tidak langsung jadi upaya untuk meremehkan diri sendiri.
Dulu, saya sering resah soal dunia kepenulisan. Bagaimana kiprah seorang penulis ketika dia udah lama nggak nerbitin buku? Atau bahkan sering nerbitin buku tapi nggak tenar?
Hari ini, kekhawatiran itu hilang karena tiap hari saya bertemu dengan orang-orang yang mau berjalan perlahan untuk belajar. Melihat banyak orang yang dengan senang membiasakan diri untuk rutin menulis, serta menyadari bahwa bahan bakar utama seorang penulis adalah membaca. Idealnya, bila jumlah orang yang mau menulis terus bertambah, bertambah pula minat baca kita. Akan sangat kelihatan mana orang yang keras kepala cuma mau belajar nulis tapi nggak mau memerbanyak membaca, dan mana orang yang mau coba mengimbangi keduanya.
Jangan pernah merasa bahwa passion itu hanya soal menuruti gairah hidup dalam bergerak, tetapi passion juga soal kemauan membangun diri dan sadar bahwa ada banyak ruang yang perlu didekati untuk terus berjuang.
Jangan takut kalau hari ini kamu belum bisa menerbitkan buku. Sejak pertama menyukai dunia menulis dan membaca, saya butuh waktu sebelas tahun hingga akhirnya berhasil menerbitkan buku dan enam belas tahun hingga akhirnya punya kesempatan ikut mengelola pergerakan dunia menulis. Kamu bisa membaca cerita di balik penerbitan buku pertama saya di sini.
Jalan yang sangat panjang, dan tak jarang juga sepi. Namun, jalan yang sepi hanya akan dilewati orang-orang yang punya tekad dan menghargai proses. Semoga kamu bisa menjadi salah satunya, dan kalau kamu butuh tempat serta teman untuk belajar menulis, kamu boleh follow @inspiratoracd di Instagram. Di sana banyak info tentang kelas menulis, bahkan yang bisa kamu ikuti secar gratis. Selamat berproses.

Komentar

  1. Memang semua berawal dari kemauan mbak hiks, sejatinya memang apa-apa kalo ingin membuahkan hasil, harus serius.
    Ah mbak rizka selalu bikin saya terinspirasi :), tetap semangat berkarya mbak

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

We Have "Luar Binasa" Behind The "Luar Biasa"

K ita mungkin tidak asing dengan istilah ‘luar biasa’. Luar biasa adalah ungkapan ketika kita takjub melihat sesuatu, baik ciptaan Allah, maupun ciptaan manusia. Kata ‘luar biasa’ sering diplesetkan dengan ‘luar binasa’. Nah, mari kita belajar dari ‘luar binasa’. Tanpa kita sadari, istilah ‘luar binasa’ bisa kita jadikan sebagai suatu hal yang dapat membuat kita lebih semangat dalam menjalani segala macam tantangan hidup. Mengapa demikian? Kata binasa sendiri mempunyai arti hilang, mati atau gugur. Mungkin memang tidak ada kedekatan arti antara ‘biasa’ dan ‘binasa’ meskipun mereka mempunyai struktur kata yang mirip jika diucapkan. Orang mengucapkan kata ‘luar biasa’ saat takjub mungkin karena hal yang menakjubkan tersebut memang keluar dari hal yang biasa dilihat. Misalkan ketika melihat seorang perempuan yang cantik, para pria tidak jarang berkata, “cantiknya luar biasa”. Kita tentu masih begitu ingat dengan kehebatan para pelajar SMK yang berhasil membuat sebua...

I'm Back!

Shock berat pas ngecek tanggal tulisan terakhir di blog. 19 Juli 2018. Udah hampir 2 tahun. Gimana saya bisa selama ini ninggalin blog? Salah satunya ya karena..., lupa bayar domain dan nggak tahu cara balikinnya. LOL~ Baiklah, ini konyol tapi ya sudah. Begitulah kenyataannya. 😴 Apa kabar kalian? Semoga baik, ya. Tetep betah di rumah karena sekarang masih bahaya corona. Ya ya, pasti kalian bosen denger nama penyakit itu. But , kita memang harus lawan. Lantas, bagaimana kabar saya? Hmmm, saya baik dan sudah setahun lebih menikah. Hehehe~ Yup, 10 Februari 2019 saya menikah dengan lelaki yang saya cintai, Ahmad Zaini Aziz. Apakah pernikahan selalu menyenangkan seperti yang saya bayangkan? Sejujurnya, saya sih nggak pernah membayangkan bahwa menikah itu akan selalu menyenangkan. Saya sangat paham bahwa menikah itu soal ibadah dan belajar yang akan bikin kita bahagia. Bukan sekadar senang. Bahagia itu, ya, ternyata bukan hanya soal kumpulan hal menyenangkan. Ketika...

Ternyata Hidup Itu Bukan Puzzle, Tapi Hidup Butuh Banyak Puzzle

Selama ini saya mengira bahwa hidup itu ibarat sebuah puzzle yang harus dirangkai bagian-bagiannya. Pemahaman itu jadi berubah ketika hari ini saya mendengarkan materi tentang transformasi diri. Ternyata, ada banyak puzzle yang harus dirangkai selama hidup berjalan. Bisa jadi kita punya enam puzzle , dan semuanya harua dirangkai perlahan tanpa ada yang bolong. Sepanjang mendengarkan materi, sejujurnya saya sambil merefleksi diri. Bertanya lagi, sebetulnya lingkaran suksea yang mau diraih itu apa, sih? Kenapa itu penting bagi saya? Apa dampak yang ingin saya bagikan pada orang lain dan terasa juga untuk diri saya? Pertanyaan-pertanyaan itu jadi membawa saya untuk menyusun dan mengukur lagi deep structure dan surface structure . Ini bukan soal seberapa saya mau menggapainya, tapi justru menentukan sejauh apa saya mau berupaya mengumpulkan satu persatu bagian yang harus dijalani sampai menemukan hasil. Jika bagian-bagian dari surface dan deep structure masih belum terlengkapi, menurut ...