Beberapa
waktu lalu, tepatnya 2 Desember 2017, saya menghadiri sebuah diskusi yang diadakan
oleh KM Pascasarjana Ketahanan Nasional UGM. Tema diskusinya adalah tentang kepemimpinan pemuda zaman
now, dan menghadirkan wakil bupati Trenggalek, Mochamad Nur Arifin yang biasa disapa Mas Ipin. Rasanya sudah lama
saya tak menghadiri diskusi dengan tema kepemimpinan. Mendengarkan Mas Ipin
bercerita tentang latar belakang dirinya dan program-program pemerintah
Trenggalek, serta mendengarkan pertanyaan para peserta, saya merasa ada energi luar
biasa yang masuk pada diri. Energi yang saya rindukan.
Saat
media sibuk memberitakan korupsi e-KTP, dalam diskusi itu Mas Ipin berhasil ‘menampar’’
saya dengan, “Sudahlah, anak cucu kita
butuh warisan energi dari kita. Jadi jangan habiskan energi untuk mengingat
Novanto aja. Lakukan kebaikan bareng.”
Bagi saya, yang diungkapkan Mas Ipin ini bukan soal ketidakpedulian dengan korupsi,
tapi mengingatkan soal proritas energi yang harus diatur. Ada banyak lini kehidupan
masyarakat yang butuh energi kita. Yang butuh dibantu dan dikembangkan dengan ilmu
yang kita dapatkan, dan tentu akan jadi tempat kita mendapatkan ilmu juga.
Dua
hal utama yang saya tangkap dari diskusi berama Mas Ipin adalah tentang
kolaborasi dan menggerakkan. Mas Ipin diusung sebagai calon wakil bupati kala
itu karena kekuatan kemauannya berkolaborasi dalam memberdayakan masyarakat
untuk perkembangan Trenggalek. Setelah menjabat, beliau tetap sibuk menyambung
simpul kolaborasi dengan lebih kuat bersama banyak lembaga non pemerintahan.
Dari energi yang nampak dari beliau, saya yakin betul bahwa beliau sangat passionate di berbagai hal yang
dilakukan.
Tentang
passionate, menurut Mas Ipin ada 3
ciri orang yang passionate pada
pekerjaan: nekat, kreatif (mau berpikir untuk menciptakan hal baru di
bidangnya), dan mau melakukan apapun yang lebih baik dan berkembang. Pada prinsipnya,
orang yang passionate tak akan mau
diam ketika melihat suatu hal stagnan, apalagi mundur. Ia akan selalu terpanggil
untuk terlibat.
Bila
hari ini kita masih sibuk soal ekspor dan impor yang berkutat pada daulat pangan,
sudah waktunya kita mencoba lebih dalam saat menentukan fokus penyelesaian. Lebih
dalam dari daulat pangan, kita pun harus mau tuk mulai membiasakan diri
memikirkan daulat tani. Pikirkan segala hal yang berkaitan dengan pertanian,
termasuk kebutuhan petaninya. Wujud kolaborasi padaa hal ini bahkan bisa
diwujudkan dengan memakai dana filantropi untuk modal dana mayarakat khususnya
petani.
Buka
peluang untuk masyarakat, buka mata mereka bahwa ada jalan yang bisa ditempuh.
Upayakan dan tunjukkan jalannya pada mereka, libatkan mereka untuk berupaya,
bukan hanya memberinya secara cuma-cuma.
Bila
hari ini politik masih dianggap kotor, upaya untuk melibatkan masyarakat dan bergerak
bersama mereka sebetulnya adalah salah satu jalan tuk memerbaiki sudut pandang politik.
Bila cara tersebut terus diupayakan, ke depan masyarakat akan lebih fokus menilai
portofolio calon pemimpinnya, bukan hanya soal konten sorak-sorai janji ketika
kampanye saja. Politik hari ini adalah soal keberpihakan, maka track record calon pemimpin takkan bisa
bohong.
Salah
satu pembahasan dari Mas Ipin yang menggelitik saya adalah saat beliau
memaparkan soal bottom-up revolution
dan top-down revolution. Sejak dulu
kita sering melihat adanya banyak gerakan bottom-up
yang berasal dari masyarakat untuk ‘menyentil’ pemerintah, bayangkan bila energi
kebaikan kita digunakan untuk melakukan top-down
revolution, dari atas ke bawah, dengan kita menjadi bagian dari struktur
pemerintahan. Ini tentu jadi semacam ajakan Mas Ipin pada seluruh peserta diskusi
untuk tidak takut berperan di politik, sebab ada banyak nilai kebermanfaatan
yang bisa lebih diupayakan bahkan lingkup manfaatnya bisa lebih luas dan
otomatis nilai diri sebagai makhluk akan lebih paripurna.
Namun,
sampai sini saya punya pertanyaan yang saat itu langsung saya sampaikan pada
Mas Ipin.
“Ada banyak orang
bilang bahwa ketika berperan di luar pemerintahan, bisa saja kita akan punya power.
Lalu kapan kita bisa mengetahui apaakah kita cocok di dalam pemerintahan atau
di luar?”
Jawaban
Mas Ipin waktu itu berhasil membuat saya dan semua hadirin terdiam. Moderatrnya
pun ikut manggut-manggut.
“Kalau di luar pemerintahan
saja kamu bisa punya power, saat kamu
masuk pemerintahan harusnya kamu punya double
power. Combo.”
Jleb.
Iya, ya. Harusnya begitu. Mas Ipin memaparkan dengan contoh bahwa menjadi pemimpin
daerah tentu punya wewenang untuk membuat legalitas. Tergantung keberpihakan mana
yang dijadikan dasar pembuatan sebuah peraturan maupun kebijakan lainnya. PR
utamanya adalah memastikan bahwa jalan keberpihakan kita mengarah ke masyarakat.
Bila itu terjaga, akan ada banyak kebaikan yang harusnya bisa diupayakan.
Pesan
penting Mas Ipin terkait ini, jangan ragu menuangkan keberpihakan dalam
kebijakan agar jelas akadnya, terikat, terdokumentasi dengan rapi serta dapat dilanjutkan
pemimpin selanjutnya. Pesan ini lagi-lagi menampar saya dan kembali mengingatkan
tentang prinsip yang selama ini selalu saya pegang. Pemimpin yang sukses adalah
yang berhasil kepemimpinan selanjutnya. Yup,
salah satu indikator keberhasilan pemimpin bukan hanya soal sebagus apa kinerjanya,
tetapi sebaik apa program baiknya dilanjutkan oleh pemimpin setelah dia. Bila tak
ada satu pun, ada rantai kebaikan yang terputus, dan nilai kebermanfaatannya akan
terhenti.
Di
akhir diskusi, Mas Ipin membagikan dua buku karangannya padaa dua penanya yang
beruntung. Dan, lucky me, saya salah
satunya. Walau diskusi sudah usai, saya justru merasa makin ‘tertampar’ ketika
maju ke depan, menyaksikan Mas Ipin menuiiskan pesan dan menandatangani buku
yang kemudian diberikannya pada saya. Pesannya berhasil membuat saya sejenak
memejamkan mata waktu itu, dan spontan berkata, “Waduh, Mas, kok abot,” pada
Mas Ipin.
“Nitip
ya, Mbak.” Kata Mas Ipin saat memberikan buku sambil menepuk bahu saya. Ini berasa
bukan dititipi buku, tapi dititipi negara beserta generasi penerusnya. Berat
bener.
Yang
bikin saya merasa seperti itu adalah pesannya yang tertulis.
Wajar
ya kalau saya ketampar banget baca pesan itu? Saya cuma manggut-manggut sambil
menjawabnya dengan basmalah. Dari situ saya sadar, langkah yang masih panjang
bukan cuma langkah saya sebagai diri sendiri, tetapi juga langkah sebagai (calon)
ibu yang menyiakan generasi kuat untuk bangsa. Satu lagi, langkah untuk menjadi
istri yang menguatkan suami, yang mungkin
suatu saat menjadi bagian dari orang-orang yang mengemban amanah untuk memipni negeri.
Di
hari Jum’at ini, menuliskan dan mengingat lagi diskusi dengan Mas Ipin jelas membuat
saya mengembuskan napas panjang berkali-kali. Kita tak boleh punya alasan tuk
berhenti. Revolusi dimulai dari siapa pun, terutama (calon) ibu. Mari mulai sejak
sekarang.
Komentar
Posting Komentar