Akhir
pekan lalu, saya berkunjung ke Ibu Kota dan melanjutkan perjalanan ke Cileungsi
untuk hadir ke acara Rapat Kerja TurunTangan Jakarta, komunitas yang sudah lama
saya kenal dan ‘serumah’ di TurunTangan. Dipercaya menjadi fasilitator pada
acara itu sejujurnya bukan hanya jadi hal menyenangkan, tetapi juga mengobati
kerinduan saya pada ruh TurunTangan.
Beberapa
hari sebelum acara, saya hanya berpikir bahwa hasil dari raker adalah timeline kegiatan setahun ke depan yang
tak hanya harus dirancang, tetapi juga harus disepakati semua pihak agar
nantinya langkah mereka tak hanya kuat masing-masing, tetapi juga sinergis.
Saya ingat betul, suatu malam beberapa hari sebelum acara, saya sempat banyak
ngobrol dengan Diana yang bertanggungjawab pada acara, tentang konsep sebuah
rapat kerja.
Sepertinya
sudah terlalu membosankan jika rapat kerja tanpa disadari dijadikan ajang
saling balas dan saling jegal. Ketika ada ide dari A, maka akan selalu ada pertanyaan
dan tanggapan dari peserta rapat lainnya yang (berniat) memberi masukan, tapi
justru melupakan esensi mendengarkan untuk menambah pemahaman. Yang sering
terjadi, disadari atau tidak, kita mendengarkan untuk kemudian merumuskan
tanggapan. Padahal sebetulnya, yang perlu dilakukan pertama adalah mendengarkan
untuk meresapi dan memahami.
Beberapa
jam sebelum acara berlangsung, ternyata ada sesi penting yang juga harus
dikawal. Evaluasi. Dengan misi menghindari saling balas antar peserta yang
sejak awal saya pegang, sesi evaluasi jadi PR besar. Bagaimana agar evaluasi
dalam sebuah forum bukan hanya mendapatkan banyak bahan, tetapi juga dapat
dirumuskan dengan efektif dan punya keluaran rekomendasi yang bisa jadi ‘vitamin’
untuk kepengurusan baru?
Sejak
awal saya terus meyakinkan diri untuk membuat cara main di luar kebiasaan forum
berbagai komunitas lainnya, yang harus diterapkan pada raker TurunTangan
Jakarta. Bagi saya, TurunTangan Jakarta adalah salah satu regional yang terus
berusaha bangkit, bukan hanya melanjutkan hidupnya. Maka, walaupun saya belum
berhasil mengajak TurunTangan Jogja ‘naik kelas’, tapi saya betul-betul ingin
mengajak TurunTangan Jakarta memboyong diri pada tingkatan kualitas kelompok
yang lebih baik dan jelas capaiannya.
Dari
dua hari rapat kerja, di hari pertama saya tak sekali pun memberi kesempatan
peserta untuk saling menanggapi. Padahal, pada hari itu ada banyak sesi yang
sifatnya presentatif. Mulai dari presentasi analisa dalam evaluasi, hingga
presentasi program kerja masing-masing project
dan divisi.
“Hari
ini kita akan fokus mendengarkan.” Kata saya kala itu.
Seingat
saya, hampir semuanya cuma manggut-manggut. Sampai akhirnya seorang peserta
bilang, “Serius nanti presentasi nggak boleh nanggepin?”
“Nah,
akhirnya ada yang nanya.” Batin saya.
Saya
percaya, tiap manusia punya keinginan untuk berkontribusi bagi manusia lainnya,
apalagi yang satu kelompok. Siapa yang tak mau membangun kelompok bersama-sama?
Namun, dalam memberikan tanggapan, selama ini ada hal yang masih sering kita
lupakan. Sudahkah kita menganalisa dan merenungkan hal yang ingin kita
sampaikan? Sudahkah kita betul-betul memilah mana hal yang mau dan memang perlu
kita tanggapi?
Hal-hal
yang sering terlupa ini menyebabkan tiap forum dengan presentasi dan tanggapan
selalu berbuntut panjang. Satu orang bisa menyampaikan tiga hingga lima hal.
Panjang-panjang pula. Padahal juga belum tentu semuanya esensial. Kenapa hal
ini terjadi? Karena pemberi tanggapan melupakan hal-hal yang tadi saya
sampaikan.
“Saya
nggak mau temen-temen reaktif, tapi nggak responsif.” Ini salah satu kalimat
yang saya sampaikan di hadapan peserta raker.
Sepanjang
segala sesi di hari pertama, saya terus berpikir, sanggup nggak ya anak-anak
pada diem dan dengerin? Karena bukan hal mudah, bukan, sekian jam dengerin
orang presentasi tapi kitanya nggak boleh nanggapi? Hehehehe.
Namun
ternyata, semua peserta rapat kerja TurunTangan Jakarta tak hanya berhasil
menaklukkan diri masing-masing dengan setia mendengarkan, tetapi sesi input dan penyusunan timeline di
hari kedua pun jadi lebih berisi. Semua hal yang disampaikan pada sesi input di
hari kedua, tak ada yang remeh-temeh. Semua tanggapan terdengar sudah melalui
proses perenungan, analisa, hingga pemilihan prioritas tanggapan dari
masing-masing orang yang bicara. Tak ada rebutan waktu antar kegiatan pula.
Tak
hanya berhasil menjalani semua sesi yang sehat pada rapat kerja kali ini,
TurunTangan Jakarta pun akhirnya berhasil mengantongi lima dokumen penting yang
(semoga) bisa menjadi pedoman serta membantu pengawalan tiap gerak yang
diupayakan bersama. Segala keberhasilan ini tentu berkat kemauan dan kekuatan
peserta dalam saling mendengarkan, dan tak ada lagi alasan raker tanpa hasil
dan arahan. Tak ada pula alasan bahwa gerakan tak punya bahan bakar mumpuni.
Saat
perjalanan pulang, saya terus berandai-andai. Kapan TurunTangan Jogja bisa
begini juga, ya? Kenapa Tuhan justru mengirim saya ke tempat yang jauh untuk
membangun energi, saat ada banyak kesempatan yang saya usahakan di ‘rumah’
sendiri justru masih terseok-seok?
Di
balik segala pengandaian manusiawi tersebut, terima kasih, TurunTangan Jakarta.
Saya tak hanya meras ‘pulang’, tetapi juga belajar saling mendengarkan. J
wauw, rizka keren euy. semoga segala aktivitasnya senantiasa barokah. btw, website barunya bagus banget :)
BalasHapusAaamiiin Allahumma aaamiiin.. Makasih banyak, Mas Iqbal. Doa yang sama untuk Mas Iqbal... Makasih juga sudah berkenan dolan ke sini. 😀
Hapus