Langsung ke konten utama

Bicara; Bahasa Cinta yang Wajib Dijaga.

Menjaga perkataan. Sikap ini seolah jadi adab kunci ketika kita hidup berdampingan. Jika tulisan yang salah bisa dihapus, perkataan yang terpeleset tidak. Barangakli bisa diralat, tapi bagi pendengarnya, tetap saja terngiang.


Sadar atau tidak, kata-kata sering jadi ejawantah pemikiran. Sering terdengar dan terjadi, ucapan pertama adalah yang paling jujur. Ya, kadang bisa saja terucap karena terpeleset. Tapi nggak bisa ditutupi kalau nurani tidak mengingkarinya.
Bicara adab, kayaknya terlalu berat. Kita coba lebih spesifik, ya. Memilih kata.


Sebagai manusia yang aslinya hobi ngobrol, bagi saya, mengontrol perkataan rasanya selalu jadi jurus yang tidak boleh dilepas. Lebih banyak mendengarkan, merespon perkataan lawan bicara dengan hati-hati, dan memilih diam jika sekiranya tak perlu.


Saking pentingnya soal perkataan, kadang kita nggak bisa melupakan ucapan menyakitkan yang sudah kita maafkan. Ya gitu. Memaafkan, tapi tidak bisa melupakan.


Sebagian orang bahkan mampu mengingat dengan detail soal kumpulan kata-kata menyakitkan yang pernah didengar dari seseorang. Bukan berarti nggak memaafkan, tapi ya nggak bisa lupa aja.


Di sisi berlawanan, wajar jika kita juga perlu minta dievaluasi orang lain soal perkataan kita. Adakah cara berbicara yang sering menyakiti? Adakah kita sering terlampau spontan berucap hingga lupa memilah kata?


Ini barangkali jadi seni dalam berinteraksi. Seni yang tidak boleh diabaikan.


Masalahnya, kita hidup dengan prioritas. Memilih. Ada dua situasi yang seringnya beririsan. Pertama, menjaga perkataan pada orang yang tak ada di 'lingkaran' kita karena ingin menghormati. Namun di kondisi ini, nyatanya kita tetap perlu intropeksi. Jangan-jangan kita lupa menjaga ucap pada orang terdekat bahkan yang kita sayang? Apa itu mungkin? Sangat mungkin karena kita menganggap ia sudah menerima perangai kita. Kita lupa bahwa dia punya perasaan dalam mendengarkan. Hmmm...


Pada kondisi lain, ada pula yang memilih untuk lebih menjaga ucap pada orang terdekat. Ya karena sayang, atau malah karena memang tidak punya kepercayaan besar tuk mengutarakan. Atau mungkin ya, takut tak diterima. Bagaimana dengan orang-orang yang tak dekat? Ya bisa jadi lebih menjaga, bisa juga tidak.


Alih-alih soal perangai dan watak, percayalah, sikap dalam berbicara itu harusnya kita yang memilih. Kita yang menjaga. Sebagai komunikasi dua arah, sudah wajib juga kita tak hanya peduli kepentingan diri. Kita perlu peduli lawan bicara.


Kenapa soal bicara saja bisa jadi sepanjang dan sedalam ini? Karena bicara adalah salah satu bahasa cinta, yang menentukan bisa atau tidaknya kita berdampingan.

Komentar